04.

40.5K 2.1K 46
                                        

Dira menghela napas. Sejak melihat sisi cengeng Zea tempo hari, entah kenapa ia jadi lebih sering terlibat dengan gadis itu. Ini sudah kali kedua ia melihat Zea menangis, dan, entah bagaimana, Dira selalu berakhir sebagai orang yang harus menenangkannya.

Di bangkunya, Zea duduk dengan tisu di tangan, menepuk-nepukkannya ke pipi untuk menghapus jejak air mata tanpa merusak riasan mahalnya.

Dira mengernyit pelan saat suara ingus yang ditiup terdengar nyaring di dalam kelas. Tak lama kemudian, Zea meletakkan tisu bekasnya di meja, seolah menyuruh Dira untuk membuangnya.

Namun Dira tak ingin protes, ia hanya menyendok tisu bekas Zea menggunakan kulit buku catatan yang sudah tak terpakai, kemudian membuangnya ke tempat sampah.

"Udah?"

Zea menangguk.

"Sekarang jelasin." Dira mencondongkan tubuh. "Lo tiba-tiba nangis, terus meluk Gaska. Kenapa?"

Zea menggigit bibirnya, terlihat ragu sebelum akhirnya menghela napas. "Gaska mirip seseorang yang gue kenal," ucapnya lirih.

Dira diam, menunggunya melanjutkan.

"Dia mirip Raka." Zea menatap meja, jemarinya meremas tisu yang tersisa. "Rasanya kayak nemuin sesuatu yang hilang. Udah terlalu lama gue sendirian di sini, dan tadi gue kelepasan. Kayak ngelepas rindu ke orang yang bahkan bukan dia."

Dira tidak langsung merespons. Ia memahami perasaan itu-kehilangan, lalu menemukan bayang-bayang seseorang dalam diri orang lain. Tapi tetap saja, meluk lelaki secara tiba-tiba di tengah kelas? Itu jelas bukan hal yang biasa.

"Lo beneran secengeng ini, ya?" Dira menghela napas, lebih ke arah pasrah daripada menghakimi.

Zea meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. "Gue juga gak nyangka."

Dira mengangkat alis, menatap noda ungu besar di seragam Zea. "Terus, sebelum lo nangis, sebenernya lo kenapa? Itu baju lo ... kayak korban kejahatan jus."

Zea mengerjap, seakan baru sadar noda besar yang mengotori bajunya. "Oh," gumamnya. "Gisel."

Dira mendengus, tidak terkejut sama sekali. Sejak Zea masuk ke sekolah ini, Dira sudah tahu gadis itu akan menarik perhatian-bukan hanya karena penampilannya yang selalu rapi dan elegan, tapi juga karena sikapnya yang seolah berasal dari dunia berbeda. Dan seperti yang sudah diduga, perhatian itu juga datang dari Gisel.

Gisel, gadis dengan otak cetek yang hidupnya berputar di sekitar drama dan kepuasan pribadi. Di sekolah ini, ia lebih mirip lalat pengganggu yang hinggap di mana pun ada sorotan, memastikan tak ada yang lebih bersinar darinya.

Dulu, saat Zea baru masuk, Gisel mendekatinya dengan senyum manis dan kata-kata ramah, menawarkan pertemanan seolah mereka selevel. Tapi tentu saja, itu bukan karena niat baik. Bagi Gisel, berteman dengan Zea berarti punya akses untuk menjatuhkan seseorang dari jarak dekat.

Termasuk menjatuhkan Hana, gadis yang membuat banyak siswi iri karena dekat dengan Ray, Kiyo, juga Elga.

Dira sempat tidak menyukai pertemanan antara Zea dan Gisel, setiap kali Gisel menindas Hana, Zea selalu berdiri disana dengan binar puas.

Dan sekarang, lihatlah hasilnya, Zea duduk dengan noda besar di bajunya, sementara Gisel mungkin sedang tertawa puas di sudut kelas.

Tapi Dira bukanlah tipikal orang yang mau repot-repot mengurusi hidup orang, asalkan tak ada yang melibatkan dirinya, ia hanya akan menjadi pengamat.

"Ya udah, ikut gue."

"Kemana?"

"Ngambil hoodie di loker, lo gak lengket make tuh baju?"

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now