Mobil berhenti perlahan di depan rumah Zea. Lampu-lampu perimeter koloni memantulkan cahaya kemerahan yang temaram di permukaan kaca. Suasana di dalam kendaraan senyap, hanya terdengar bunyi samar sistem pendingin kabin.
Zea tidak segera turun. Ia duduk mematung, tatapannya kosong menatap pagar rumah. Bahkan saat sabuk pengamannya dilepaskan oleh tangan Gaska, ia tetap bergeming, seakan tak menyadari apa pun di sekitarnya.
Beberapa detik berlalu. Gaska mendesah pelan, kemudian mengangkat tangannya dan menyentil kening Zea dengan jitu.
"Aduh!" Zea spontan menepuk jidatnya, menoleh cepat. "Ngapain sih?!"
"Kepala lo kayak standby mode. Kirain perlu restart."
Zea mendengus. "Gue lagi mikir, ganggu aja lo."
"Bisa mikir sambil turun, Zea."
Ia melipat tangan, menatap Gaska dengan alis terangkat. "Gue mikir tentang hidup. Lo kira itu bisa dikerjain sambil buka pintu mobil?"
"Ribet amat."
"Lo tuh ya ...." Zea mendekat sedikit, menatap lekat-lekat wajah lelaki itu. "Kenapa sih nyebelin banget? Bikin orang yang udah capek malah pengen lempar sepatu."
Gadis itu menghela napas panjang. Bibirnya bergerak, ingin membalas, namun yang keluar justru kalimat berbeda.
"Gue ngerasa bersalah."
Gaska hanya menatap dalam diam.
"Dira ...." Zea melanjutkan, suaranya mengecil. "Dia nggak harusnya kena semua ini. Harusnya drama antara gue sama Hana cuma berhenti di kami. Tapi Dira malah ikut diseret, ikut celaka. Padahal dia cuma ... nyoba netral, nyoba nolong."
Masih tak ada komentar dari Gaska, namun matanya tak berpaling darinya.
"Gue yang bawa-bawa dia ke tengah semuanya. Dan sekarang, dia yang kena imbas paling parah." Zea menunduk. "Kadang gue mikir ... mungkin gue temen yang buruk."
Gaska menunggu sejenak sebelum akhirnya bicara. "Lo bukan temen yang buruk. Lo cuma manusia."
"Dira udah gede, Zea. Dia tahu resiko. Kalo dia milih tetap di samping lo, ya karena dia percaya lo worth it."
Zea terdiam. Ia menatap Gaska lama, lalu senyum kecil muncul di ujung bibirnya. Ia mendekat, menyandarkan tubuh sedikit ke kursi, kemudian berbisik genit. "Cium gue."
Gaska mengerutkan alis. "Hah?"
"Gue bilang ...." Zea mencebik. ".... give me a kiss, Gaska."
Alih-alih menuruti, Gaska justru membekap mulut Zea dengan telapak tangannya. "Enggak."
Zea membuka mata, mendelik di balik tangannya. "Lo kenapa sih?! Pacar macam apa yang nolak disuruh nyium pacarnya?!"
"Pacar yang males disuruh-suruh."
Zea mencibir, lalu menjitak bahu Gaska. "Lo tuh ya ... kaku banget. Zero romantisme, gue pacaran sama tiang."
"Tiang bisa dicat, gue bisa cium, tapi bukan karena disuruh."
Zea menggeram pelan, mengambil tasnya dengan kesal, lalu menarik tubuh ke arah pintu.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)