34.

25.2K 1.4K 24
                                        

Langkah Hana melewati ambang pintu kelas dengan ritme biasa, sampai pandangannya jatuh ke tengah ruangan.

Hidupnya seolah terpeleset.

Zea duduk di atas meja. Bukan sembarang meja, melainkan meja Hana. Satu kakinya menyilang, tubuhnya condong sedikit ke depan, rambutnya jatuh ke satu sisi, dan sorot matanya dingin juga puas.

Di hadapan gadis itu, tiga sosok yang biasanya berdiri tegak kini berlutut di lantai: Cinta, Lia, dan Sari. Tidak ada yang menangis, tidak ada teriakan, tapi ketiganya menunduk dalam diam, wajah tertunduk seperti sedang mengakui dosa di altar pengakuan.

Hana berdiri mematung. Napasnya tercekat. Punggungnya menegang seolah tubuhnya tahu ia sedang jadi target berikutnya.

Zea menoleh. Pandangannya bertemu dengan Hana.

Seketika, Hana mundur selangkah, gerak spontan seperti hewan kecil yang tahu ia sedang diburu. Wajahnya pucat. Matanya membelalak.

"Gue baru dateng udah denger tiga orang sotoy ngatain gue check-in ama si Ray, source Hana Dyatmika."

Zea menatapnya sambil menghela napas perlahan, lalu turun dari meja. Satu langkah yang terdengar tenang, tapi penuh peringatan.

Dan tanpa berkata apa-apa, Hana berbalik dan melangkah cepat keluar kelas, seolah melarikan diri sebelum badai yang sebenarnya dimulai.

.


Ray duduk di tribun, keringat masih membasahi pelipisnya. Ia menunduk, memainkan ujung handuk yang terlilit di tangannya. Lapangan mulai sepi, hanya sisa gema pantulan bola dari kejauhan.

Sebuah bola tiba-tiba melayang dan mendarat tepat di kakinya. Ray mengangkat kepala.

Kiyo berdiri di depan tribun sambil menyilangkan tangan di dada, wajahnya datar seperti biasa. Elga menyusul dari arah belakang, napasnya masih berat, seperti baru saja mengejar Kiyo.

"Gue cuma mau nanya satu hal," kata Elga tanpa basa-basi. "Sebenernya lo ngapain sama Zea di vila itu?"

Ray bersandar, menyenderkan bahu ke bangku belakang. "Orang-orang udah mutusin versinya sendiri. Percuma juga gue jelasin."

"Elga bener," potong Kiyo, nadanya datar tapi sinis. "Zea itu keras kepala, iya. Tapi murahan? Nggak segitu juga."

Ray hanya mengangkat alis, lalu menyeringai kecil. "Lo kayak tahu dia siapa."

Kiyo menjawab pelan, nyengir tipis. "Yah, minimal gue nggak kenal dia dari drama yang gue bikin sendiri."

Senyum Ray makin lebar, tapi tak menyenangkan. "Lo baru sadar sekarang dia bukan cewek biasa?"

"Gue dari dulu tahu itu," Kiyo menoleh, masih tenang. "Masalahnya, lo kebanyakan gaya, nyangkanya semua hal bisa lo bungkus pake senyum sok cool itu."

Ray menghela napas, seolah bosan. "Gue nggak maksa orang percaya apapun. Mereka bikin gosip sendiri. Gue cuma diem."

"Diemnya lo tuh diem yang nyari aman," Kiyo melangkah lebih dekat. "Lo seneng kan? Akhirnya orang nganggep lo match sama dia. Padahal lo bahkan nggak ngerti cara ngehargain dia."

Ray menatap Kiyo lama. "Kalau iya, kenapa? Lo keberatan?"

Kiyo mengangkat bahu. "Gue keberatan kalau orang paling banyak gaya di sekolah jadi alasan kenapa temen gue dibenci satu angkatan."

"Temen lo? Sejak kapan?" Ray terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja, si Kiyo bisa kepancing sampe ngomong beginian."

Tatapan Kiyo mengeras, tapi ia justru tersenyum sinis. "Gue bisa selow, Ray. Tapi bukan buat orang yang main kotor."

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now