Zea mendorong pintu rumah Gaska dengan cepat, nyaris membantingnya. Dira mengikutinya dari belakang, membawa kantong belanjaan yang tersisa. Tanpa pikir panjang, Zea langsung melempar kantung-kantung belanjaannya ke sembarang arah. Beberapa jatuh dengan suara berdebam, sementara yang lain terguling sampai sudut ruangan. Tapi Zea tidak peduli. Pandangannya sudah tertuju pada patung di ruang tengah, busananya tampak kurang pas.
Dengan cekatan, Zea mendekati patung itu. Lincah menarik kain-kain yang sudah rusak, menyobek bagian yang tidak layak pakai dengan sekali hentakan.
Di sekitarnya, Hana, serta Ray hanya diam mengamati, sedangkan Gaska sudah bergerak membantu Zea mengeluarkan barang-barang belanjaan dari kantung yang dibawa.
Hana menatap Zea dengan penuh kekaguman, tetapi ada rasa bersalah yang jelas di wajahnya. Wajar, karena Hana-lah Zea harus mengerjakan proyek mereka dari awal lagi. Ray menyilangkan tangan di dada, ekspresinya masih menunjukkan kekesalan yang tertahan. Gaska? Ia hanya menikmati situasi, memperhatikan dengan ketertarikan tersendiri.
"Dira, benang emas," perintah Zea tanpa menoleh.
Dira langsung bergerak, mengambil benang yang dimaksud dan menyodorkannya kepada Zea. Namun, saat Zea membutuhkan jarum pentul, yang maju malah Hana. Gadis itu melangkah dengan ragu, tetapi tetap berusaha terlihat tenang.
"Ini," ujar Hana, menyodorkan jarum pentul ke Zea.
Dira menahan napas. Hana memang terlihat tulus ingin membantu, tapi ia tidak sadar kalau ini bukan saat yang tepat. Zea masih terbakar emosi. Dira sendiri tahu, sedikit saja ada yang menyinggung Zea sekarang, ledakan berikutnya bisa terjadi kapan saja.
Benar saja, Zea bahkan tidak melirik Hana. Tanpa menyentuh jarum yang diberikan, ia langsung menoleh ke Dira.
"Dira, jarum pentul."
Dira tercekat. Ia melirik Hana yang masih mencoba tersenyum, meskipun sorot matanya terlihat sedih. Dira kasihan padanya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Kalau ia membela Hana sekarang, Zea pasti bakal meledak lagi.
Ray, yang sejak tadi diam, akhirnya bereaksi. "Lo buta, hah?"
Zea akhirnya menoleh ke Ray, wajahnya masih serius. "Nggak. Gue cuma selektif milih siapa yang boleh bantuin gue."
Ray mendengus kesal, tetapi Zea sudah kembali fokus. Tangannya terus bekerja, mengganti kain, menyematkan jarum, dan merapikan detail busana di patung. Hana tetap berdiri di tempatnya, masih memegang jarum pentul yang tadi ditawarkan. Senyumnya tetap ada, tetapi kini lebih mirip usaha untuk menutupi perasaannya.
Dira menggigit bibir. Ia ingin mengatakan sesuatu, mungkin membela Hana, atau sekadar meredakan ketegangan. Tapi Zea masih dalam mode kerja dan jelas sedang tidak ingin diganggu.
Saat Zea hendak menyempurnakan bagian bawah busana, ia menyadari sesuatu. "Dira, gunting."
Tidak ada jawaban.
Zea berhenti sejenak, menoleh ke sekeliling. "Dira?" panggilnya lagi, kali ini nadanya lebih tajam.
Dira tidak ada.
"The fuck," Zea bergumam menahan kesal. "Ngapa harus ngilang sih?" gadis itu hendak melangkah mencari Dira, tetapi matanya bertemu dengan Hana, yang masih berdiri di tempatnya.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)