Hana membanting ponsel ke tempat tidur, lalu memelototinya seolah benda itu bisa merasa bersalah.
"Brengsek ... kenapa malah begini?" gumamnya sambil berjalan mondar-mandir seperti setrikaan rusak. "Ray ... kenapa lo malah ngelepas dia? Itu bukan rencananya!"
Ponselnya kembali berdering. Nama Ray terpampang di layar. Hana langsung mengangkatnya cepat-cepat.
"Lo gila?!" suaranya meledak. "Gimana bisa dia kabur?! Bukannya lo jaga dia?!"
Namun suara Ray di seberang justru terdengar santai, nyaris malas. "Santai aja. Gue udah bilang dari awal, kalau dia kabur, ya biarin."
"Biarin?" Hana hampir membenturkan kepalanya ke dinding. "Lo nggak sadar, dia bakal buka mulut! Semua bisa ancur!"
Ray mendengus pelan. "Lo pikir gue nggak tahu resikonya? Gue selalu punya cara, Han. Zea bisa ngoceh sepuasnya, tapi nggak akan ada yang bisa buktiin apapun."
Hana terdiam sejenak, mencoba meredam amarahnya. Tapi kalimat Ray berikutnya seperti menyiramkan bensin ke bara.
"Dan satu hal lagi, gue nggak pernah sepakat buat kerja sama sama lo."
Hana mencelos. "Apa ...?"
"Lo yang maksa, lo yang nganggep kita sekutu. Gue nggak pernah butuh lo buat dapetin Zea. Foto yang gue kirim, itu cuma iseng. Gue cuma mau liat, lo beneran cuma pengen Gaska atau pengen hancurin Zea juga. Ternyata lo pengen dua-duanya."
Hana ternganga. "Jadi ... semuanya cuma—"
"Mainan," potong Ray dingin. "Dan kalau lo nyoba main-main lagi, gue bisa balikkan semuanya ke lo. Lo yang bakal hancur duluan."
Tut.
Sambungan terputus. Dan Hana jatuh terduduk di lantai.
Skenarionya, seharusnya berjalan mulus. Zea yang menjadi target, Ray sebagai alat. Tapi semuanya kacau. Sekarang malah dirinya yang terlihat seperti monster.
Tangannya gemetar saat menatap kembali foto Zea yang ia simpan—wajah pucat, luka kecil di pipi, tubuh ringkih dalam pencahayaan buram vila itu.
"Enggak. Enggak bisa begini," desisnya. "Kalau gue jatuh, semua juga harus jatuh."
Dengan sisa amarah yang tersisa, Hana berlari keluar kamar. Ponsel masih menggenggam foto Zea. Di ruang tengah, Armand baru saja menutup koper dinasnya, dan Rania duduk membaca majalah.
"Papa! Mama!" teriak Hana.
Armand langsung berdiri. "Ada apa?"
"Zea! Zea disiksa! Sama Ray! Lima hari lalu mereka liburan berdua ... dia dipukulin, disekap!" Hana menunjuk foto di layar ponselnya dengan panik. "Aku baru terima ini! Dia belum berani ngomong karena takut!"
Rania langsung berdiri dan merebut ponsel itu. Matanya membesar. "Ya Tuhan ...."
Armand memicingkan mata, wajahnya mengeras dalam hitungan detik. "Apa maksudnya ini? Kenapa baru sekarang Papa tahu?!"
Hana memasang wajah sebersalah mungkin. "Dia nggak mau bilang ke siapa-siapa ... aku juga baru tahu. Tapi ini ... ini gawat, Pa ... kita nggak bisa diam."
Armand mengatupkan rahangnya. "Selesai sudah. Anak itu sudah terlalu lama dibiarkan dekat sama anak berandal itu. Mulai sekarang, Papa yang turun tangan."
Tanpa menunggu, Armand mengambil ponsel dari meja, mengetik nomor dengan cepat. "Saya Armand. Siapkan pengacara keluarga. Kita tuntut anak itu."
Rania menahan napas. "Armand ... kita harus hati-hati. Kalau ini salah paham—"
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)