Tak ada yang aneh dari Hana. Seperti biasa, ia masuk kelas lebih awal, duduk rapi di bangkunya, membuka buku dengan ekspresi tenang. Seakan tidak ada yang berubah sejak Zea menghilang.
Tapi justru di balik ketenangan itu, ia bekerja.
Kelas mulai ramai. Suara tawa dan obrolan anak-anak menyambut pagi yang gerah. Di meja belakang, sudah duduk tiga orang yang terkenal paling haus informasi—Cinta, Sari, dan Lia. Mereka adalah bibit unggul gosip sekolah, yang bahkan bisa menyusun teori hanya dari ekspresi orang.
Hana menghampiri mereka, masih dengan senyum tipis di wajahnya.
"Eh, pagi ... aku duduk sini sebentar ya," katanya lembut sambil menarik kursi kosong di dekat mereka. "Lagi pusing banget ngerjain tugas fisika. Cinta, kamu udah ngerjain belum?"
"Udah sih ... setengah," jawab Cinta sambil tertawa kecil. "Gila, tugasnya tuh bikin mual gak sih?"
Obrolan berlanjut sebentar soal tugas. Hana tampak ikut bercanda, sesekali menimpali ringan, sesekali hanya tersenyum. Lalu, ketika topik mulai melambat, ia membuka ponselnya dan meletakkannya di meja—layar menyala menampilkan galeri. Dengan sedikit gerakan, ia tidak sengaja membiarkan ibu jarinya membuka salah satu foto.
Gambar itu: Zea, duduk di sudut ruangan yang remang, wajahnya sayu, ada bekas luka samar di pelipisnya.
Cinta menoleh lebih dulu. Sekilas. Tapi cukup.
"Hah? Itu siapa, Han?" tanyanya cepat, matanya menyipit.
"Eh?" Hana berpura-pura panik kecil, lalu buru-buru mengunci ponsel. "Gak, gak penting kok. Maaf ... itu bukan untuk dilihat."
Lia langsung mencondongkan tubuh. "Serius, itu kayak Zea deh ... kenapa mukanya kayak abis dihajar?"
Hana menunduk, tampak gelisah. "Aku ... aku gak mau cerita, aku takut salah sangka. Aku juga baru dikirimin foto itu. Aku gak tahu apa-apa, sungguh."
Sari melotot. "Han, lo gak bisa kayak gitu doang! Itu Zea, kan?!"
"Aku gak mau fitnah siapa-siapa," katanya pelan, matanya sedikit berkaca. "Mungkin... mungkin ia memang butuh waktu sendiri. Tapi aku takut orang lain malah mikir yang aneh-aneh ...."
Cinta, Sari, dan Lia saling pandang. Wajah Hana terlalu lugu untuk dituduh berbohong. Tapi foto itu terlalu liar untuk diabaikan. Dan itulah yang Hana inginkan.
Gosip itu menyebar seperti tumpahan tinta di atas kertas, tak bisa dihentikan, menyusup ke setiap sudut sekolah. Dalam waktu kurang dari sehari, hampir semua siswa sudah melihat foto itu.
Tak ada yang menyebutnya secara langsung, tapi dari tatapan yang dilemparkan diam-diam, bisik lirih di antara kelas, dan notifikasi yang tak berhenti di grup-grup WhatsApp, semuanya tahu: sesuatu sedang terjadi pada Zea.
Dan Hana? Ia hanya duduk tenang di bangku kantin, wajahnya bersih dari ekspresi bersalah. Ia tidak perlu membuka mulut, ia sudah punya cukup relawan yang melakukannya untuknya.
Menjelang pukul empat sore, lorong belakang gedung utama mulai lengang. Beberapa siswa baru saja keluar dari kegiatan ekstrakurikuler, sementara yang lain sibuk membungkus hari dengan tawa singkat dan janji ketemuan malam.
Di antara itu semua, langkah Hana terdengar ringan. Ia berjalan sambil membawa map—tak ada yang aneh, tak ada yang mencurigakan. Tapi matanya tidak kosong. Ia memindai keadaan. Seolah menanti sesuatu.
Dan seperti sudah dijadwalkan sebelumnya, Gaska berdiri tak jauh dari lorong samping perpustakaan. Bersandar ke dinding, dengan hoodie setengah dikenakan dan ponsel di tangan, ekspresinya setengah fokus. Ia tak menyadari keberadaan Hana sampai jarak mereka hanya tinggal beberapa meter.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)