22.

28.7K 1.7K 25
                                        

Hana duduk di tepi tempat tidur, mengenakan kaus kaki putih yang baru dicuci. Seragam sudah rapi menempel di tubuh mungilnya, sementara rambut panjang masih tergerai, sedikit kusut. Di belakangnya, Rania menyisir helai demi helai dengan gerakan pelan dan penuh perhatian.

"Aku bisa sisir sendiri, Ma," sahut Hana pelan, setengah malu.

Rania mengangkat alis. "Iya, bisa. Tapi berantakan."

Hana hanya tersenyum kecil.

Namun momen hangat itu tak bertahan lama.

Suara roda koper yang bergesekan dengan lantai marmer terdengar dari arah lorong. Rania spontan menghentikan gerakannya, matanya berpindah ke arah pintu.

Pintu terbuka pelan, dan muncullah sosok yang tak asing. Zea muncul disana, rambutnya dikepang satu, bibirnya mengulum senyum menyebalkan, dan tangan kirinya menarik koper merah mencolok yang tampak berat, tapi ia tarik dengan gaya seolah sedang berjalan di karpet merah.

"Pagi, Tante Rania, Hana," sapanya datar, tapi nada tengilnya begitu terasa.

Rania berdiri tegak, menyipitkan mata. "Zea? Ngapain kamu di sini?"

Zea melepas jaketnya dan menaruhnya di sandaran sofa tanpa diundang. "Lagi pengin suasana baru. Tempat ini ... lumayan lah, buat orang kaya baru kayak kalian."

Zea berhasil menyerang Rania, wanita itu terdiam sebentar dengan tangan terkepal, berusaha seolah tidak terusik dengan kalimat anak ini. "Koper itu untuk apa?"

"Tinggal."

"Tinggal?" Rania mendekat, suaranya menegang. "Zea, kamu bercanda? Kamu enggak bisa seenaknya datang dan—"

"Seenaknya?" Zea membalikkan badan pelan, menatap Rania lurus. "Tante, maaf ya, tapi ... secara hukum, perceraian Papa dan Mama belum kelar. Hak asuh belum ditetapkan. Artinya, aku bebas milih tinggal di mana. Dan sekarang, aku pilih di sini."

Nada suaranya tetap kalem, tapi matanya tajam. Tengil, tapi tidak main-main.

"Zea, ini bukan kos-kosan. Ini rumah kami."

"Yang dibeliin Papa aku." lanjut Zea mengingatkan, ia meletakkan koper dan menyender di dinding. "Kecuali Tante mau dijulidin sama tetangga karena ngusir anak sendiri."

Hana hanya terdiam, menatap Zea dan ibunya bergantian. Suasana mulai menegang, udara seperti berhenti bergerak.

"Zea," suara Rania kini lebih pelan, menahan diri. "Kamu bisa bicara baik-baik. Enggak harus dengan cara begini."

Namun respon yang diberikan Zea sama sekali tak mengenakan, gadis itu justru mengangkat bahu tanpa peduli.

Rania menatap Zea cukup lama. Napasnya berat. Lalu ia menggeleng pelan dan mengambil ponselnya. "Saya akan hubungi Papa kamu."

"Silakan," jawab Zea, masih tenang. "Tapi aku yakin Papa enggak akan nyuruh aku pulang juga. Dia yang bilang, aku bebas tinggal di mana pun yang nyaman."

Zea berjalan masuk melewati Hana dan Rania, menyeret kopernya dengan langkah ringan seenaknya. "Aku pilih kamar yang dekat balkon, ya. Kamar yang lain kecil semua." sebelum akhirnya menghilang ke lorong.

Rania masih berdiri diam, tangannya mengepal. Hana akhirnya angkat suara pelan.

"Ma ... Zea beneran mau tinggal di sini?"

Rania tidak menjawab. Tapi sorot matanya menjelaskan segalanya—ini bukan sekadar kunjungan, ini akan jadi awal dari kekacauan.

"Saya sungguh ingin jadi ibu buat kamu, Zea. Saya berusaha sebaik yang saya bisa," suara Rania dalam, menahan amarah yang mulai mendidih. "Tapi kalau kamu terus bersikap kurang ajar seperti ini, saya juga bisa hilang kendali. Dan kalau itu terjadi, saya pastikan kamu akan menyesal."

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now