Pagi-pagi sekali, Zea sudah berdiri di depan kelasnya, dagunya bertopang di tangan sementara pandangannya tertuju pada satu titik di tengah lapangan. Ia menghirup udara pagi dalam-dalam, membiarkan kesegarannya memenuhi paru-paru sebelum perlahan dihembuskan kembali. Senyum tipis tergambar di wajahnya, seolah menikmati momen kecil ini dengan penuh syukur.
Meski berbeda, Raka dan Gaska memiliki banyak kemiripan, terutama dalam kesan segar yang mereka berikan. Seolah keduanya selalu mandi sebelum subuh, tampak begitu bersih dan segar dipandang.
Dari tempatnya berdiri, Zea hampir bisa membayangkan betapa segarnya aroma tubuh Gaska. Kemarin, saat ia memeluknya, wangi soapy yang lembut begitu memanjakan hidungnya, membuatnya betah menangis berlama-lama sambil memeluk lelaki itu.
Zea tidak bisa bohong, saat masih menjadi Seyren, Raka adalah satu-satunya teman Bian yang menarik perhatiannya. Mungkin bisa dibilang, Raka adalah cinta monyetnya di masa puber.
Kini, melihat Gaska berdiri tegap di tengah lapangan, mengatur barisan murid-murid yang dihukum karena tidak memakai atribut sekolah dengan lengkap, Zea merasa seperti melihat bayangan Raka kembali dalam balutan seragam yang berbeda.
Ia masih sibuk menikmati pemandangan itu ketika tiba-tiba Dira berdiri di sampingnya, menghembuskan napas berat. "Masih Gaska, nih?"
Tanpa berpikir panjang, Zea mengangguk.
"Bukan Ray lagi?"
Zea mengangguk lagi.
Dira menggerakkan kepala Zea, mengarahkannya ke parkiran. "Ray baru nyampe loh, bareng Hana."
Zea mendelik sinis. "Sampe mereka akad nikah di parkiran juga gue gak peduli."
Dira terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil melihat Zea yang kembali fokus pada Gaska. "Lo serius udah gak suka lagi sama Ray?"
Zea tidak menjawab, tapi juga tidak menyangkal.
Dira melanjutkan. "Gue baru dapat kabar, katanya kemarin kalian ribut lagi?"
"Dia doang yang ribut, gue enggak."
"Tapi lo mukul dia ampe pingsan."
"Itu insting bertahan hidup." Zea menoleh, menatap Dira dengan wajah malas. "Emang cuma dia yang bisa main tangan? Gue juga bisa, kali."
Dira kadang masih sulit percaya bahwa orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Zea Maheswari, gadis yang dulu selalu memandang rendah orang-orang di sekitarnya, kecuali Ray. Tidak menyangka juga dirinya justru akan dekat dengan Zea, sementara Ray, seseorang yang dulu jadi pusat hidup gadis itu, kini seolah tak ada artinya di mata gadis itu.
Tapi ia menyukai perubahan Zea yang ini. Setidaknya, ia berharap semua ini bukan sekadar strategi baru gadis itu untuk menarik perhatian Ray lagi.
"Gue cabut dulu, ada urusan OSIS."
"Yaudah, hati-hati," balas Zea santai, masih tetap menatap ke arah Gaska.
Dira hanya berdehem kecil. Namun belum jauh ia berjalan, ia sempat berpapasan dengan Gisel yang baru saja datang dengan langkah angkuh.
Gisel tersenyum kecil, nyaris licik, sebelum berdiri di tempat Dira tadi. "Gue baru sadar lo makin sering sama Dira sekarang."
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)