12.

36.1K 2.2K 6
                                        

Dira baru saja keluar dari kelas, menyampirkan tas punggungnya ke satu pundak sambil sibuk menatap layar ponselnya. Jarinya lincah mengetik balasan, sesekali mengernyit membaca chat Zea yang singkat dan terasa lesu.

"Dira!"

Suara itu membuatnya berhenti. Ia menoleh dan melihat Gaska berjalan mendekat, ekspresinya serius. Lelaki itu berdiri tegap dengan tangan yang dimasukkan ke saku celananya, matanya langsung mengarah ke Dira.

"Zea dimana?" tanyanya tanpa basa-basi.

Dira mengerjapkan mata, agak kaget dengan pertanyaan mendadak itu. Ia segera membalikkan layar ponselnya, memperlihatkan chat terakhirnya dengan Zea.

"Dia sakit," jelas Dira, kembali menarik ponselnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Dia sakit," jelas Dira, kembali menarik ponselnya. "Kayaknya cukup parah. Dari tadi pagi nggak ada kabar lagi, terakhir cuma bilang mau tidur."

Gaska menghela napas, matanya menyipit sedikit seperti sedang berpikir. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu, seseorang memanggilnya dari kejauhan.

"Gaska! Rapat OSIS mau mulai, buruan!"

Gaska menoleh ke arah suara itu, lalu kembali menatap Dira dengan ragu. Ada sesuatu dalam sorot matanya, seperti ingin memastikan sesuatu, tapi terhalang keadaan.

Dira mengerti maksudnya sebelum Gaska sempat bertanya lebih jauh. Ia mendesah pelan, lalu mengangkat satu tangan santai. "Udah, gue aja yang ke rumah Zea. Lo ke rapat aja, izinin gue ya."

Gaska tetap diam sesaat, seakan masih mempertimbangkan keputusannya. "Lo yakin?" tanyanya akhirnya.

Dira mengangguk. "Santai aja. Zea sendirian di rumah, kan? Makanya gue harus ke sana. Gue tahu dia nggak bakal ngomong kalau dia butuh sesuatu."

Gaska menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Baik-baik, ya."

Dira tersenyum sekilas. "Iya, lo juga."

Tanpa menunggu lebih lama, ia memasukkan ponselnya ke saku, mengayunkan tasnya ke bahu dengan lebih mantap, lalu mulai melangkah cepat menuju gerbang sekolah. Dalam perjalanan, ia kembali mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan singkat.

.

Dira berdiri di depan rumah besar itu, memandangi pintu yang tertutup rapat. Rumah Zea selalu terlihat megah, tapi di saat seperti ini, justru terasa sepi dan dingin. Tak ada suara televisi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya ada angin sore yang berhembus pelan, membuat daun-daun kering bergeser di halaman.

"Assallamuallaikum ...." Dira mengetuk pintu beberapa kali. "Zea?"

Tak lama, terdengar langkah kaki pelan dari dalam. Pintu berderit terbuka, memperlihatkan sosok Zea yang berdiri dengan mata setengah tertutup. Rambutnya berantakan, sedikit lembap di beberapa bagian, mungkin karena terlalu lama tidur tanpa menyisirnya. Kulitnya pucat dengan rona merah di pipi, kontras dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Bibirnya terlihat kering, dan ketika ia membuka mulut untuk berbicara, suaranya serak.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now