"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!"
"Fact one: you're annoying. Fact two: that's it."
.
S...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Zea dan Seyren ketemu di rl gengs😭❤️🔥
.
Pagi masih buta. Matahari bahkan belum berhasil menyingkirkan kabut tipis yang menyelimut jendela ruang makan. Tapi Zea sudah berdiri di balik tembok, matanya menyipit tajam, seperti sedang menonton adegan sinetron yang terlalu serius untuk jam segini.
Armand berdiri kaku di sisi meja makan. Bahunya tegap, kepalanya sedikit menengadah, seperti patung yang sedang pasrah didandani. Sementara Rania—dengan jarak tubuh nyaris nol—sibuk merapikan dasi di leher lelaki itu. Gerakannya lambat, terlalu pelan, seolah ingin mengabadikan setiap detik kebersamaan mereka dalam slow motion.
Zea menghela napas pendek. Bukan karena terharu, tapi karena jengah.
Sok mesra.
Sok intim.
Dan Rania, dengan gerak-gerik sok sayangnya itu, benar-benar tahu cara memancing muntah di pagi hari.
Ironisnya, semua itu justru terasa begitu mulus dan alami—sesuatu yang bahkan Evelyn, ibu kandung Zea sendiri, tak pernah punya. Mungkin memang itu yang membuat Armand menceraikannya. Lelaki itu bukan sedang mencari istri. Ia butuh penonton tetap yang tak pernah bosan memberi tepuk tangan.
Dengan langkah ringan tapi niat yang bulat, Zea masuk ke ruangan. Tangannya menempelkan ponsel ke telinga, layarnya menyala terang, jelas-jelas menunjukkan tidak ada panggilan aktif. Tapi bukan Zea namanya kalau tidak tahu cara membikin panggung sendiri.
"Ma, please deh," katanya lantang, cukup keras untuk menusuk ketenangan palsu di dalam ruangan. Kepala Armand bergerak sedikit, otomatis menoleh ke arah suara.
"Mama baru juga cerai dari Papa, nggak usah pacar-pacaran dulu, geli tahu nggak."
Tangan Rania yang semula lincah mendadak kaku. Seolah simpul dasi itu tiba-tiba berubah jadi ranjau. Armand menurunkan dagunya pelan, memberikan lirikan setengah waspada ke arah Zea.
Tapi Zea, seperti biasa, tidak menggubris.
"Iya, aku baru bangun. Mama nginep di tempat om itu lagi?" Nada suaranya santai. Terlalu santai. Seperti sedang ngobrol soal cuaca.
Rania memperlambat geraknya. Matanya jelas menangkap perubahan kecil di wajah Armand. Zea menang, lagi-lagi.
"Serius? Dia masakin Mama sarapan juga?"
Zea melirik meja makan. Cangkir-cangkir tersusun terlalu rapi. Ia mengulas senyum tipis. "Tapi serius deh Ma, nggak usah buru-buru juga, kan—Apa ...?"
Tak ada yang menyahut. Zea menurunkan ponselnya, sementara Rania melanjutkan tugasnya—menyempurnakan dasi Armand, tapi kali ini tanpa tambahan senyum manis. Armand sendiri hanya diam, tangannya mengepal di sisi paha, seperti sedang menahan sesuatu yang tidak ingin terlihat.