Dira menggeliat kecil sebelum akhirnya membuka mata. Sinar matahari yang masuk dari celah tirai bikin matanya sedikit perih. Di sebelahnya, Hana masih tertidur nyenyak, tubuhnya meringkuk dengan selimut setengah melorot ke lantai.
"Bangun," suara Gaska terdengar, datar seperti biasa. Dira mengerjap, lalu menoleh ke arah cowok itu. "Lihat."
Dira mengikuti arah pandangan Gaska dan langsung membeku. Buru-buru menepuk pundak gadis disebelahnya. "Han-Hana ...?"
Hana yang masih mengumpulkan nyawa, membuka matanya perlahan. "Hm?"
"Cepetan liat!" Dira menunjuk ke depan dengan ekspresi tak percaya.
Di depan mereka, patung yang kemarin masih dihiasi kain sobek kini sudah terbalut busana yang mereka desain. Namun, yang membuat mereka ternganga bukan sekadar busana itu ada di sana, tapi bagaimana setiap detailnya begitu sempurna, seakan dikerjakan tangan profesional.
Hana menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca. "Ini kerjaan Zea ...?"
Gaska mengangguk kecil. "Semalaman."
Mereka sontak menoleh ke arah sofa di sudut ruangan. Zea ada di sana, meringkuk seperti bola kecil, napasnya pelan dan dalam. Kantung matanya tampak jelas, tubuhnya tampak begitu lelah bahkan dalam tidurnya.
Hana mendekat, ekspresinya penuh rasa iba dan juga penyesalan. "Zea ...." bisiknya, tangannya terangkat hendak menyentuh bahu gadis itu, tapi langsung terhenti.
"Jangan." suara Gaska singkat, tapi cukup untuk membuat Hana mengurungkan niatnya.
"Tapi-"
"Dia capek. Biarin dia tidur."
Hana menggigit bibirnya, menatap Zea dengan rasa bersalah yang semakin dalam. "Kalau aja aku lebih fokus, lebih serius dari awal, dia nggak perlu kerja sampe segininya ...."
Dira yang sejak tadi memperhatikan patung, langsung menoleh. Melihat Hana menyalahkan diri sendiri seperti itu, bukannya merasa kasihan, ia justru merasa situasinya terasa hambar.
"Kamu bawa dia ke kamar aku, ya? Biar dia tidur lebih nyaman." Hana menghela napas panjang, lalu menatap Gaska. "Mama Papa hari ini bakal pulang, Zea nggak bakal sendirian disini kok."
Tanpa banyak bicara, Gaska membungkuk dan mengangkat Zea dengan mudah. Gadis itu bergumam lemah dalam tidurnya, kepalanya secara alami bersandar di bahunya.
Dira mengabaikan pemikirannya tentang Hana, kembali menatap patung itu dengan takjub. "Gila, sih. Dia jenius."
Sementara itu, di sudut lain, Ray yang sejak tadi duduk di sofa hanya mengamati mereka. Tatapannya datar, tapi sudut bibirnya sedikit tertarik ke bawah. Saat Gaska melangkah pergi membawa Zea, Ray menghela napas panjang, lalu mendengus pelan, nada sinis tak bisa disembunyikan dari ekspresinya.
Hana mendekati Ray. Tanpa bicara, ia menjatuhkan diri ke sofa di sebelahnya, menyandarkan kepala ke sandaran tangan sofa sambil menatap langit-langit.
"Lo kenapa?" tanya Ray akhirnya, melirik sekilas tanpa mengubah posisinya.
"Aku kagum aja," jawab Hana pelan. "Zea tuh ... luar biasa. Dia kerja semaleman buat kita, padahal dia bisa aja nggak peduli. Dia nggak pernah setengah-setengah kalau udah ngelakuin sesuatu."
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)