18.

31.1K 1.8K 71
                                        

Suasana sekolah siang itu terasa janggal. Biasanya ramai oleh canda tawa siswa, kini dipenuhi bisik-bisik pelan dan tatapan penasaran. Nama Zea menjadi bahan perbincangan di setiap sudut lorong.

Zea duduk di bangku tunggu depan ruang Kepala Sekolah. Tatapannya kosong. Ia terlihat lelah, seolah semalam tidak tidur. Dalam pikirannya, adegan penyerangan terhadap Gisel terus terputar. Rasa malu, marah, menyesal, dan puas saling bertabrakan di kepalanya.

Dira berdiri di dekatnya. Ia tampak ragu ingin bicara, namun akhirnya bersuara.

"Lo beneran nggak apa-apa?"

Zea tidak langsung menjawab. Ia menunduk, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Gue bingung, Dir. Gue ngerasa ... aneh," katanya lirih. "Nggak ngerti deh."

Dira menghela napas. Ia tidak membenarkan tindakan Zea, namun juga tidak ingin menghakiminya. Fitnah Gisel memang bukan hal kecil, harusnya ia tahu memancing Zea yang selalu berapi-api itu tidak baik.

"Gue tahu lo kesel. Tapi ini berat. Visum segala."

Seolah menjadi penegas ucapan Dira, Gaska muncul dari arah tangga. Ia berdiri tegak di depan mereka, wajahnya datar.

"Gisel bakal di-visum malam ini," katanya singkat. "Orang tuanya bakal bawa ini ke hukum."

Zea hanya memejamkan mata sejenak. Diam-diam ia menyesal. Sebagai anak yang terlahir dari keluarga yang mengajarkan moral padanya, Seyren tidak pernah membayangkan akan menyerang seseorang sekejam itu. Tapi amarah yang ia rasakan tadi bukan hanya milik dirinya sendiri. Ada sisa emosi dari Zea yang asli, dan keduanya bertubrukan begitu hebat hingga ia kehilangan kendali. Ia tidak bangga atas apa yang telah terjadi, namun rasa puas jauh lebih mendominasi dalam dadanya. Di satu sisi, ia tahu perbuatannya salah. Tapi di sisi lain, setidaknya setelah ini, Gisel tidak akan mudah lagi mempermainkannya.

Pintu ruang Kepala Sekolah akhirnya terbuka. Seorang wanita dewasa melangkah keluar. Rambutnya ditata rapi, mengenakan coat hitam dan sepatu hak tinggi. Langkahnya tenang, namun menciptakan tekanan dalam udara.

Evelyn Hartanto datang.

Dira meneguk ludah pelan. Pantas saja Zea sering tampak angkuh, seolah memiliki garis keturunan bangsawan. Ternyata ibunya adalah Evelyn Hartanto—bukan wanita biasa, melainkan pengacara profesional yang pernah menangani kasus-kasus besar dan sering kali membawa kemenangan.

Tak lama, Nia, ibu dari Gisel, keluar dari ruangan dengan ekspresi tak ramah. Ia melemparkan tatapan tajam ke arah Zea sebelum pergi tanpa sepatah kata pun. Evelyn berdiri tegap, tidak sedikit pun bergeming oleh kehadiran Nia.

Evelyn menatap anaknya tajam. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Zea berdiri, lalu menatap sang Mama. "Dia nyebar fitnah. Karena kesel kalah terus sama aku." lalu mengambil ponselnya di saku seragam, menampilkan percakapan palsu yang Gisel sebarkan disana.

Evelyn memicing membaca deretan pesan itu, matanya berkilat menahan amarah, sebelum akhirnya ia menghela napas. "Mama akan pastikan Gisel dan orang tuanya tidak berani membawa ini ke jalur hukum. Sebaliknya, Mama akan buat mereka minta maaf dan membersihkan nama kamu."

Dira tertegun mendengar pernyataan Evelyn. Begitu pula dengan Gaska, meski wajahnya tetap tenang. Mereka mulai mengerti dari mana sifat dingin dan percaya diri Zea berasal.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now