19.

30.7K 1.7K 14
                                        

Seharusnya tidak ada alasan bagi Gaska untuk memikirkan Zea Maheswari. Gadis itu bukan siapa-siapa baginya. Sejak awal, tak ada interaksi di antara mereka, Zea selalu tinggi di atas menara, sementara Gaska hidup di tanah datar yang sunyi dan tak menarik.

Zea Maheswari, si Tuan Putri yang dikenal angkuh, mendadak hadir dalam pikirannya. Bagaimana mungkin tidak? Gadis yang bahkan tak pernah meliriknya itu tiba-tiba menangis dan memeluknya, memanggil nama Raka dengan suara bergetar, seolah-olah dirinya adalah lelaki itu.

Siapa Raka?

Gaska masih tidak tahu.

Yang ia tahu, detik itu tubuhnya kaku, pikirannya kosong, dan ia hanya bisa diam di peluk Zea. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak mengerti. Tidak ada yang lebih konyol daripada tiba-tiba dipeluk oleh seseorang yang bahkan tidak pernah menyapa sebelumnya.

Dan anehnya, esok harinya, Zea bertindak lebih gila lagi. Ia datang padanya, tanpa ragu, tanpa basa-basi, dan menyatakan perasaannya begitu saja.

"Ayo pacaran."

Itu kalimat yang membuat kepalanya terasa seperti akan meledak. Zea bukan tipe gadis yang Gaska perkirakan akan melakukan hal seperti itu. Tapi begitulah kenyataannya, ia mengatakannya dengan serius, dengan tatapan mata yang tidak main-main.

Gaska merasa hidupnya seperti baru saja ditabrak oleh kereta api yang melaju kencang.

Sebelumnya, Gaska memang pernah mengalami hal yang hampir mirip, tapi beda. Saat itu, yang menyatakan perasaan adalah Hana, adik angkatnya sendiri.

Tapi Hana bukan Zea. Hana tak pernah memaksa, ia hanya menyimpan perasaannya diam-diam, dan menyampaikannya dengan pelan, seperti daun jatuh di permukaan air. Tidak menimbulkan riak, tidak menuntut balasan. Hanya menunggu keputusan yang tak pernah datang.

Berbeda dengan Zea, yang datang seperti badai. Tak bisa dihindari, tak bisa ditebak, dan sekarang, tak bisa dilupakan.

Gaska tak paham, kenapa tiba-tiba hidupnya penuh oleh nama Zea.

Saat sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, suara roda koper terdengar dari arah ruang tamu. Gaska keluar dari kamar dan melihat Hana, menarik koper besar ke arah pintu. Di sebelahnya berdiri Rania, ibu kandung Hana, yang tampak siap menjemput putrinya.

Azad dan Nima berdiri tak jauh dari sana. Wajah mereka tak bisa menyembunyikan kesedihan. Meski Hana bukan anak kandung mereka, tapi gadis itu telah menjadi bagian dari rumah ini selama bertahun-tahun.

Rania tersenyum hangat. "Terima kasih udah jaga Hana selama ini."

Nima memeluk Hana, lalu mengusap pipinya pelan. "Kalau nanti kamu kesepian di rumah baru, jangan ragu pulang ke sini lagi, ya."

Hana mengangguk pelan. "Iya, Ma."

Azad menepuk kepala gadis itu. "Jaga diri, Nak. Jangan sungkan hubungi kami kalau butuh apa-apa."

Gaska masih diam. Tapi Hana melirik ke arahnya. Ada sedikit ragu di matanya saat ia mendekat.

"Kak ...." katanya pelan, hampir tak terdengar. Ia menggenggam ujung kaus Gaska, seperti yang biasa ia lakukan sejak kecil. "Aku pulang dulu, ya. Mulai sekarang ... kita nggak serumah lagi. Jadi, maaf kalau aku nanti ganggu atau chat terlalu sering ... Aku cuma ... bakal kangen."

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now