Zea berdiri di depan meja dapur, telaten memotong buah satu per satu. Di sampingnya, Hana memasukkan potongan mangga ke dalam blender, lalu meraih beberapa es batu dari wadah.
"Lo yakin rasanya udah pas?" tanya Zea sambil mencicipi sepotong stroberi.
Hana mengangguk kecil. "Iya, ini udah manis. Tinggal di blender saja."
Tanpa banyak bicara, Zea menekan tombol blender. Suara mesin segera memenuhi ruangan, berpadu dengan aroma segar buah yang mulai bercampur.
Di tengah kebisingan itu, terdengar langkah kaki menuruni tangga. Zea secara refleks menoleh ke arah suara tersebut, matanya langsung berbinar saat melihat Gaska memasuki ruangan.
Namun, Gaska tidak sendirian. Di gendongannya, seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun tampak masih mengantuk. Wajahnya terlihat sedikit merah karena baru bangun tidur, sementara rambutnya berantakan. Matanya masih setengah tertutup, seolah belum sepenuhnya sadar.
Hana segera menghentikan pekerjaannya dan mendekat dengan senyum lembut.
"Ah, akhirnya kamu bangun juga, Elio," ujarnya sambil menatap anak itu dengan penuh perhatian. "Tidur sore kamu lumayan lama hari ini."
Anak kecil itu mengucek matanya dengan tangan mungilnya sebelum kembali menyandarkan kepala ke bahu Gaska.
Hana tersenyum hangat sebelum memperkenalkan mereka.
"Zea, ini kakak aku, Gaska. Dan ini Elio, adik kecilku," ujar Hana lembut sambil mengusap punggung Elio yang masih tampak mengantuk.
Zea mengerjap, kini ia dan Gaska saling pandang, tak mengatakan apa-apa seolah sebelumnya mereka belum pernah bertemu.
Gaska hanya mengangguk pelan tanpa banyak bicara. Ia tetap berdiri di tempatnya, sementara Elio mulai menggeliat di gendongannya, tampak ingin turun.
Zea, yang sejak tadi diam-diam mengamati Gaska, tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Pemandangan lelaki itu dengan seorang anak kecil dalam gendongannya memberikan kesan berbeda, seperti melihat seorang ayah muda yang penuh kasih sayang. Ia tanpa sadar membayangkan bagaimana Gaska di masa depan jika sudah berkeluarga.
Zea mengulum bibir, menangkup kedua pipinya dengun senyum tertahan.
"Zea, kenapa?"
Begitu Hana menegurnya, Zea langsung tersadar, kini ia malah bertemu tatap dengan Gaska.
Zea buru-buru mengalihkan pandangan, sedikit canggung. Ia ingin mendekati mereka, tapi keberadaan Elio membuatnya ragu. Zea memang tidak terbiasa berinteraksi dengan anak kecil, lebih sering bertengkar dengan mereka daripada bermain bersama. Bagaimana kalau ia tanpa sengaja membuat bocah itu menangis? Bagaimana kalau Gaska malah ilfeel karena sikapnya?
Jus akhirnya siap. Zea buru-buru menyibukan diri menyusun gelas untuk menuangkannya, tetapi tangan gadis itu sedikit terpeleset, hampir saja menumpahkan minuman itu, untungnya, Hana dengan sigap membantu.
Gaska menyadari gelagat Zea yang terlihat ragu-ragu. Namun, ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangkat sedikit sudut bibirnya sebelum melangkah menuju ruang tengah, membawa Elio bersamanya. Zea dan Hana mengikuti di belakang.
Di ruang tengah, suasana terasa sedikit kaku. Dira dan Ray sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa banyak bicara. Hana dengan telaten menuangkan jus ke dalam gelas dan membagikannya satu per satu.
Zea baru saja hendak mengambil gelasnya ketika tiba-tiba ia merasakan sesuatu menarik rambutnya dari belakang. "Eh?"
Ia menoleh cepat dan menemukan Elio yang kini duduk di pangkuan Gaska, lelaki itu sengaja duduk disamping Zea, bahkan mengarahkan tangan kecil Elio untuk menggenggam beberapa helai rambut Zea. Bocah itu tertawa kecil, tampak menikmati aksinya.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)