Zea menutup tas selempangnya, melirik Gaska yang tengah sibuk membolak-balik tusukan daging di atas panggangan.
"Gue ke toilet sebentar, ya. Jangan bakar semuanya, nanti kita makan arang."
Gaska mengangguk malas tanpa menoleh. "Jangan kabur aja."
Zea nyengir tipis. "Yang paling niat ngajak ke pantai siapa, hayo?"
Toilet vila itu sepi dan dingin. Zea menyalakan keran, mencipratkan air ke wajahnya. Rasa segar menyelimuti wajah, tapi jantungnya berdetak cepat tanpa alasan. Hingga tiba-tiba—
"Gue kira lo pinter, Seyren. Ternyata lo bego juga."
Suara itu menggema di kepalanya. Dingin, tajam, milik seseorang yang sangat ia kenal, meski seharusnya tidak mungkin.
"Zea?" bisik Seyren nyaris tak bersuara.
"Oke, lo harus di apresiasi karena berhasil ngubah cerita ini. Tapi ...." suara itu terjeda. "Sekarang badan gue dipakai sama bocah polos yang gampang dibohongin. Gue kira lo pinter baca karakter orang, ternyata? Nihil."
"Nggak tahu di untung ya lo! Gue mah pinter bikin peran lo nggak menyedihkan, emang kayak lo yang bulol ke Ray?!"
Bahkan setelah makian pedas Seyren, suara Zea tak berhenti. Menghardik, menyindir, meremehkan.
"Dan lo pikir Gaska pahlawan? Lo pikir lo berhasil dapetin dia? Kasihan banget."
Seyren mengerutkan kening. "Gue nggak peduli omongan lo. Hidup gue sekarang ya ini. Gaska bukan lo, dia—"
"Dia penulisnya, tolol."
Diam.
Suasana mendadak hening. Air dari keran terus mengalir, tapi Seyren tidak bergerak. Perlahan, matanya membulat.
"Apa ...?"
"Gue ulang ya? Gaska. Itu. Penulis. Novel. Ini."
Seyren menggigit bibirnya, mencoba menyangkal.
"Dia yang bikin Ray nyulik lo. Karena dia tahu Ray terobsesi sama lo. Karena dia tahu satu-satunya cara nyeret lo ke konflik adalah lewat Ray. Dan siapa yang nyuruh Tante Mia telepon lo waktu itu, hah? Gaska. Biar lo ikut bantuin Ray pulang dan jadi bagian cerita."
Seyren menelan ludah. Masih berusaha menyangkal.
"Yang bilang ke Mama soal Papa yang bakal ngirim lo ke Rumah Sakit Jiwa? Gaska juga."
"Ya-ya ... itu berarti dia nolongin gue dong!"
"Dia lagi nyerahin posisi peran utama ke elo, duh."
Seyren menahan napas. Otaknya berputar cepat. Potongan demi potongan kejadian terasa menyatu, membentuk pola yang menyeramkan.
"Dan lo tahu apa yang paling gila? Lo kasih semua yang berharga ke dia."
"Maksud ... lo ...?"
"Lo tidur sama dia, Seyren. Di dunia yang bukan dunia lo, di tubuh yang bukan milik lo. Lo kasih semuanya ke cowok yang nulis jalan cerita hidup lo."
Seyren nyaris muntah. Tangannya mencengkeram tepi wastafel erat-erat, kuku-kukunya memutih.
"Dan lo tahu kenapa gue bisa bicara sekarang? Karena siklusnya udah hampir selesai, kita udah mendekati bab akhir. Lo tahu artinya? Begitu bab terakhir selesai, cerita akan ngulang dari awal. Lagi, lagi, terus. Dan lo akan terjebak di sini. Ketemu Ray lagi, Hana lagi, cinta segitiga, karakter gila, plot yang sama. Selamanya."
Zea terdiam sesaat, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. "Gue udah muak, tapi lo masih punya masa depan, orang tua lo nungguin, lo bisa balik. Tapi lo harus cari cara, harus keluar dari sini, sebelum semuanya terkunci."
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)