06.

38K 2.2K 95
                                        

Seyren menatap deretan aksesoris milik Zea di laci meja rias, ada banyak perhiasan terpajang disana, sangat glamor dan memanjakan mata. Untungnya ia dan Zea memiliki banyak kesamaan, salah satunya dalam selera fashion.

Jadi, Seyren, mahasiswa desain semester enam, tidak perlu repot-repot membawa perubahan penampilan untuk Zea sejak pertama kali menginjakan kaki di dunia ini.

Pandangan Zea akhirnya terpaku pada anting bulat sebesar gelang tangan, ia tersenyum.

Baru saja ingin mengambil benda itu, ingatan kejadian kemarin berkelebat di kepalanya.

Pertengkarannya dengan Gisel di depan kelas. Semua mata tertuju pada mereka, menikmati drama yang tak terduga. Zea nyaris tertawa jika mengingat ekspresi kaget orang-orang saat ia berhasil membuat Gisel gemetaran di dekat pembatas lantai tiga.

Jika itu Zea yang asli, sampai akhir pun Gisel akan terus merugikannya, bahkan di akhir cerita, Gisel tiba-tiba bertaubat dan malah berpihak pada Hana, membocorkan segala informasi yang ia ketahui tentang Zea pada Ray.

Seyren tak mau banyak drama, langsung saja ia meng-cut off bocah itu dari lingkar pertemanannya.

Tapi yang lebih menarik dari itu adalah pertemuannya dengan Gaska.

Gaska, dengan tatapan datarnya yang tak tergoyahkan. Gaska, dengan senyum simpul yang selalu mengundang tanya. Lelaki itu hanya mendengarkan dengan santai ketika Zea mengajaknya jalan, lalu, dengan ringan dan tanpa beban, menolaknya mentah-mentah.

Zea terkekeh kecil, nada kesal menyelip di balik suaranya. "Kocak, dia pikir dia Jungkook."

Di dunia nyata, ia tak berani mendekati Raka, karena satu alasan sederhana, Raka adalah sahabat Bian. Itu sudah cukup untuk membuatnya mundur sebelum memulai, takutnya malah di ceng-cengin sang Abang. Tapi di dunia ini? Di tubuh Zea sang antagonis? Tidak ada aturan yang mengikatnya.

Maka ia akan mengejar Gaska. Tanpa ragu, tanpa batas.

Tangannya meraba meja rias, merasakan tekstur dingin berbagai produk makeup yang berjejer rapi. Foundation, eyeliner, palet eyeshadow, hingga maskara. Jemarinya akhirnya berhenti pada satu benda: lipstik berwarna cokelat tua.

Senyum penuh arti terbentuk di wajah gadis itu.

"Hari ini, kita pakai konsep Latina," gumamnya, mengangkat lipstik itu ke udara seolah sedang bersulang dengan dirinya sendiri.

.


Zea melangkah menuju ruang OSIS dengan dagu terangkat, tumit sepatunya beradu dengan lantai, menciptakan suara ritmis yang nyaris terdengar di antara keramaian. Matanya menyapu ruangan, bibirnya tertarik ke atas dalam senyum setengah main-main.

Seakan dikomando, orang-orang di jalannya mulai bergerak mundur, memberi ruang tanpa diminta. Bisikan-bisikan memenuhi udara, sebagian menahan napas saat melihat gadis itu mengibaskan rambut panjangnya ke belakang, sengaja memperlihatkan anting bulat sebesar gelang tangan yang menggantung di telinganya.

Langkahnya terhenti di depan deretan meja yang dipenuhi anggota OSIS, tepat di tengah-tengah pusat perhatian. Dengan tenang, Zea melepaskan satu kancing seragam bagian bawahnya, lalu mengikatnya hingga membentuk crop top yang memperlihatkan sedikit lekuk pinggangnya.

Hening.

Di sudut ruangan, Gaska, yang awalnya sibuk dengan ponselnya, merasakan perubahan atmosfer. Ia mengangkat kepala, alisnya bertaut melihat seisi ruangan menatap sesuatu, atau lebih tepatnya, seseorang.

Saat matanya akhirnya menangkap sosok Zea yang kini duduk di depannya dengan percaya diri, ia tersedak air liur sendiri. Batuknya pecah di antara keheningan, membuat beberapa orang menoleh.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now