Langit sore di jendela rumah Evelyn tampak temaram, seperti bias waktu yang lambat-lambat tenggelam dalam keheningan. Di sofa ruang tengah, Zea duduk memeluk lutut, pandangannya kosong menatap lantai kayu. Rambutnya tergerai acak, dan jemarinya sesekali menggenggam tanpa sadar.
Ponsel yang tergeletak di meja menampilkan pesan terakhir dari Evelyn: Hana sudah diamankan. Saat kondisi fisiknya pulih, dia akan dibawa ke LPKA.
Zea tak bergeming. Ia tak tahu bagaimana harus merespons. Semuanya terasa terlalu cepat, terlalu keras. Kepalanya penuh suara—teriakan, tuduhan, tawa palsu, dan kenangan yang ingin ia lupakan. Ray juga sedang diproses, atas penculikan, penganiayaan, dan semua kekerasan yang selama ini ia sembunyikan dalam diam.
"Zea," panggil Evelyn lembut dari arah dapur. Wanita itu duduk di seberangnya dengan secangkir teh yang sudah mulai mendingin. Matanya penuh sayu, tapi suaranya tetap tegas seperti biasa.
"Mama minta maaf. Karena selama ini ... Mama nggak cukup peka. Mama terlambat sadar. Terlalu terlambat."
Zea mengangkat wajah perlahan, menatap Evelyn tanpa kata.
"Mama belum jadi ibu yang baik buat kamu. Mama biarkan kamu tumbuh dengan luka yang bahkan Mama nggak tahu. Mama terlalu sibuk membentengi diri sendiri, dan ... membiarkan kamu sendirian di antara masalah yang seharusnya Mama hadapi juga."
Evelyn menarik napas panjang, matanya kini menatap jauh ke arah jendela. "Mama juga minta maaf karena sudah memberimu ayah seperti Armand. Mungkin sejak awal, Mama nggak pernah mencintainya. Bahkan ketika Mama dipaksa untuk hamil—untuk punya kamu—itu bukan keputusan yang Mama ambil dengan rela. Tapi kamu bukan kesalahan, Zea. Kamu adalah satu-satunya alasan Mama tetap bertahan."
Zea menggigit bibir bawahnya. Suara Evelyn terdengar seperti retakan perlahan pada kaca yang sudah lama retak.
"Mama nggak pernah mau kamu memilih Mama atau Papa. Kamu boleh bersama siapa saja yang kamu mau. Bahkan waktu kamu bilang ingin tinggal bersama Papa, Mama tetap izinkan. Karena Mama tahu, kamu butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang Mama nggak bisa jawab."
Sunyi mengisi ruangan sesudahnya. Sampai akhirnya, bel rumah berbunyi.
Zea refleks bangkit, berharap itu Gaska. Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu ketika ia melihat siapa yang berdiri di balik kaca buram.
Armand.
Sudah berminggu-minggu. Dan kini pria itu berdiri di sana, wajahnya kusut, matanya sembab. Ia menggenggam map tipis, entah berisi apa.
Evelyn yang membuka pintu. Tapi Armand hanya menatap Zea.
"Boleh Papa bicara sebentar?"
Zea diam, tapi mengangguk.
Mereka duduk di ruang tamu, berjauhan. Armand menatap tangan sendiri sebelum akhirnya bersuara.
"Papa minta maaf. Karena bukannya mencari kamu waktu kamu hilang... Papa malah percaya yang bukan-bukan. Papa salah. Papa terlalu cepat mengambil kesimpulan."
Zea menatapnya lama. "Apa Papa yakin menyesalinya?"
Armand mengangguk. "Tentu. Kamu satu-satunya putri Papa. Kalau hak asuhmu jatuh ke tangan Mamamu, itu nggak masalah. Tapi ... jangan ambil hak Papa untuk tetap bertemu kamu. Jangan buat Papa benar-benar kehilangan."
Zea menarik napas pelan, matanya menatap lurus. "Kalau Papa sungguh menyesal ... cerai dari Rania."
Armand terdiam. Wajahnya menegang.
"Papa selalu tahu kan? Kalau Papa nggak benar-benar cinta sama tante Rania. Semua ini ... cuma reaksi karena Mama nggak pernah balas perasaan Papa. Tante Rania cuma pelarian. Tapi sekarang, dia bahkan udah nggak bisa menutupi semua manipulasi dan kebohongannya. Jadi ... buat apa dipertahankan?"
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)