Zea duduk menyender di kursi sebelah kemudi, matanya kosong menatap ke luar jendela, namun pikirannya entah berada di mana. Ia menggenggam tas kecil di pangkuan, seolah mencari pegangan di tengah kekacauan batin.
Gaska yang mengemudi sesekali meliriknya. Ada banyak hal ingin diucapkan, tapi semuanya terhenti di tenggorokan. Lama diam, lalu akhirnya Gaska mencoba membuka pembicaraan.
"Lo nggak penasaran ... siapa gue sebenernya?" suaranya berat, nyaris berbisik.
Zea menoleh sebentar, tatapannya singkat namun penuh arti. "Gue masih terlalu capek buat ngobrol yang berat-berat sekarang."
Gaska mengangguk pelan, menerima jawaban itu tanpa tanya lagi. Keheningan kembali turun, lebih dalam dan berat.
Mobil berhenti di depan minimarket kecil yang lampunya terang. Zea membuka pintu dan turun tanpa bicara, langkahnya terlihat lelah tapi terkontrol. Di dalam, ia mengambil sebotol air mineral dan sebungkus croissant. Saat keluar, matanya tertuju ke seberang jalan.
Dira.
Gadis itu berdiri di sana, melambai lembut dengan senyum kecil. Jantung Zea serasa berhenti sesaat, tangan yang menggenggam plastik belanja tiba-tiba dingin.
Déjà vu menyergapnya. Dulu, ada Thea yang berdiri di tempat sama, melambai seperti itu. Zea ceroboh menyeberang tanpa pikir panjang, dan sebuah motor besar menabraknya. Gelap, dan tiba-tiba ia terdampar di dunia aneh ini.
Zea menatap lampu penyeberangan. Hijau untuk kendaraan, merah untuk pejalan kaki. Ia memilih menunggu, tidak mau mengulangi kesalahan.
Waktu berjalan lambat. Lampu berubah kuning, lalu merah. Sekarang aman untuk menyeberang.
Zea mengatur napas, menggenggam erat plastik belanjaan. Langkahnya perlahan menyusuri zebra cross. Setiap langkah terasa berat, tapi ia bertekad tidak ceroboh.
Tiba-tiba, dari kejauhan datang suara mesin mobil yang melaju dengan sangat cepat, memecah keheningan pagi.
"ZEA!" suara Gaska berteriak panik dari belakang.
Zea menoleh setengah, matanya melebar. Namun sebelum sempat menghindar, tubuhnya tersapu oleh benturan keras.
Dunia berputar, napasnya terhenti sejenak, suara klakson dan teriakan membelah udara. Ia tidak menangis, tidak menjerit, hanya terdiam, matanya terbuka menatap langit yang tadinya biru perlahan berubah menjadi putih, lalu hitam.
.
Rania mematung di balik kemudi, wajahnya pucat. Tangan kanannya masih menempel di stir, menggenggam erat seakan kemudi itu adalah satu-satunya kendali yang masih ia punya atas hidupnya yang berantakan.
Ia tidak pernah menyangka akhir dari segalanya akan seperti ini. Hana, anak kesayangannya, kini berada di balik tembok rumah sakit jiwa. Dokter menyebutnya gangguan mental berat akibat tekanan emosional. Armand, suaminya, sudah meninggalkan rumah sejak tiga hari lalu, menyusul dengan surat gugatan cerai yang dilemparkan ke wajahnya seperti selembar kertas tak berarti. Tidak ada pelukan penghiburan, tidak ada kata maaf, tidak ada pembelaan.
Yang tersisa hanyalah rasa kalah, dan dendam.
Di kejauhan, sosok yang selama ini menghantui pikirannya akhirnya muncul juga. Zea, dengan tubuh kurus dan wajah kosong, berdiri sendiri di pinggir jalan. Tak tampak gelisah, seolah tidak sadar bahwa hidup orang lain hancur karena kehadirannya.
Rania mencengkeram kemudi lebih erat. Ujung jarinya membiru karena tekanan. Dalam diam, ia mengatur napas yang tersendat-sendat. Kepalanya penuh dengan suara-suara-kenangan tentang Hana yang menangis, suara pecahan gelas yang ia lempar ke lantai malam itu, dan jeritan Armand saat menyebut nama Zea dengan penuh benci. Semua berputar seperti film buruk yang tak kunjung selesai.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)