35.

25.5K 1.6K 75
                                        

Langit telah menelan senja saat suara pintu depan terbuka pelan. Armand menoleh dari ruang tamu, masih dengan ponsel di tangan.

"Zea?" panggilnya, dengan suara serak. "Sudah Papa bilang pulang!"

Namun langkah itu bukan milik Zea.

Yang muncul adalah Evelyn.

Tegas, dingin, elegan, dalam blazer hitam dan sorot mata tajam khas pengacara kelas berat. Armand berdiri kaku. "Evelyn ...?"

"Sudah berapa lama kamu kehilangan nalarmu, Armand?" wanita itu bertanya, suaranya seperti pedang yang dibungkus beludru.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Meluruskan kekacauan yang kamu dan istri barumu buat," jawabnya sambil melangkah masuk tanpa izin.

Tak lama, Hana muncul dari tangga. Wajahnya pucat, tapi ia tetap tersenyum sopan. "Tante Evelyn ... Tolong jangan salah paham. Kami hanya khawatir dengan Zea. Dia sering bicara sendiri ... dan kadang menyeramkan ...."

Lalu muncullah Rania dari dapur, anggun seperti biasa. Membawa secangkir teh yang tak pernah diminta.

"Evelyn," sapanya dengan nada tinggi, tenang, terlalu sempurna. "Aku tahu ini semua membingungkan. Tapi percayalah, kami hanya ingin yang terbaik untuk Zea."

Evelyn menatapnya tajam. "Oh, aku tidak ragu kamu berniat melakukan sesuatu pada Zea. Tapi kata terbaik tidak cocok digunakan olehmu, Rania."

Armand maju selangkah, tetap menjaga ketegasan suaranya. "Evelyn, cukup. Aku tidak ingin pertengkaran di rumah ini."

"Pertengkaran?" Evelyn menatap tajam. "Kamu bahkan belum tahu apa yang terjadi pada anakmu, Armand. Dia hilang, dan bukannya mencarinya atau bertanya apakah dia selamat atau trauma, kamu malah bersiap menghubungi rumah sakit jiwa?"

"Zea sudah tidak bisa dikendalikan!" bentak Armand, suaranya tetap tegas. "Kamu tahu sendiri, dia punya riwayat—"

"Kamu salah." Evelyn mendekat. "Yang tidak bisa dikendalikan adalah egomu."

Rania menyela dengan suara manis yang dipaksakan. "Kadang cinta orang tua datang dalam bentuk yang tidak menyenangkan. Kami hanya ... ingin menyelamatkan Zea dari dirinya sendiri."

Evelyn memutar matanya. "Lucu. Dari yang aku lihat, Zea justru butuh diselamatkan dari kalian."

Hana menggenggam tangan ibunya dengan panik. "Tapi aku punya bukti, Zea dan Ray—"

"Ah, bukti." Evelyn mengangkat satu tangan, menghentikan Hana. "Gisel sudah menghubungiku. Dan dia bukan satu-satunya. Dira juga telah memberikan pernyataan resmi. Aku punya rekaman sesi konseling antara Dira dan konselor sekolah. Di sana, Dira menceritakan bagaimana dia didorong oleh Hana dari tangga, tapi Hana malah menuduh Gisel sebagai pelakunya."

Rania tercengang, tapi cepat menegakkan postur tubuhnya. "Evelyn, kamu tidak bisa sembarangan menuduh anakku."

"Justru aku tidak sembarangan. Aku datang dengan bukti." Evelyn membuka tas kulitnya, mengeluarkan dua map dan meletakkannya ke meja kaca di hadapan Armand. "Ini laporan resmi dari Gisel dan Dira, masing-masing ditandatangani oleh kepala sekolah dan konselor. Dan ini—" ia mengangkat sebuah flashdisk, "rekaman sesi konseling. Lengkap."

Armand mulai membuka map itu, diam-diam membaca isinya. Rahangnya perlahan mengeras.

Evelyn menatap mereka semua. "Aku beri dua pilihan. Pertama, kamu bawa Hana ke rumah sakit jiwa untuk evaluasi psikologis profesional. Atau kedua ...."

Ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya nyaris dingin seperti batu.

".... aku ajukan kasus ini ke pengadilan anak dan jebloskan Hana ke LPKA. Pasal 76C dan Pasal 80 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kekerasan fisik terhadap sesama anak, ditambah fitnah dan pencemaran nama baik terhadap Gisel. Aku punya cukup dasar hukum, dan cukup bukti untuk memenangkan perkara ini."

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now