Mereka saling menatap tajam, jarak sudah nyaris habis. Elga melangkah maju di antara keduanya.
"Udah, udah, jangan drama. Kalian sama-sama bego sekarang."
Tapi Ray mencondongkan badan, menatap Kiyo dengan pandangan menantang. "Lo mau apa, emang?"
Kiyo menyeringai, suaranya datar tapi jelas. "Lo tahu tempatnya. Lapangan karate. Nggak usah bawa penonton."
Ray tertawa pelan, senyum miringnya kembali muncul. "Lucu juga. Sahabat ngajak ribut demi cewek."
"Bukan soal cewek," sahut Kiyo sambil membalik badan. "Ini soal lo yang nggak ngerti tempat."
Sebelum Ray bisa menjawab, suara keributan dari arah koridor membuat ketiganya spontan menoleh.
Dari kejauhan, terlihat Hana berlari tergesa, napasnya memburu, langkahnya terantuk-terantuk saat mencoba melarikan diri.
Dan beberapa meter di belakangnya, Zea mengejar.
Hana berteriak kecil saat Zea akhirnya berhasil menarik rambutnya, tubuhnya terhuyung ke belakang.
Suara benturan terdengar samar. Sisanya tak terlihat jelas dari tempat mereka berdiri. Tapi semua cukup tahu: Zea tak sekadar memberi peringatan.
Ia sedang memberi pelajaran.
.
Bau keringat dan debu tipis memenuhi udara. Satu-satunya suara hanyalah napas terengah dan langkah kaki yang menyentak lantai matras.
Ray menyerang duluan, tinju kanan lurus menghantam ke arah wajah Kiyo, tapi lawannya mengelak dengan reflek. Kiyo membalas dengan sikutan tajam ke tulang rusuk Ray. Suara hentakan keras terdengar saat tubuh mereka saling bertubrukan di tengah matras.
"Masih belum cukup, Ki?" Ray menggeram, menahan nyeri sambil menyerang kembali dengan kombinasi pukulan bertubi-tubi ke dada dan perut.
Kiyo menahan beberapa pukulan dengan lengan, tapi satu hantaman telak membuatnya terdorong mundur. Namun bukannya jatuh, Kiyo melompat ke depan dan menghantam Ray dengan tendangan putar ke sisi rahang.
Ray terguling di lantai. Tapi ia cepat bangkit, seperti binatang buas yang tak terima dikalahkan.
"Buat apa lo ngelawan gini, ha?" Ray tertawa kasar. "Gara-gara gosip remeh lo jadi begini? Nyedihin amat hidup lo."
Kiyo menyeringai kecil, ludah bercampur darah ia semburkan ke lantai. "Lo tuh kocak, sumpah. Baru gosip doang udah kesenengan setengah mati."
Ray berhenti melangkah, alisnya menurun curiga.
Kiyo tertawa di tengah napas yang ngos-ngosan. "Masalahnya, lo gak tahu ... Gosip itu sengaja kita buat. Biar lo senang. Kayak—kayak anjing yang dikasih tulang palsu."
Seketika itu juga, suara hentakan keras terdengar.
BRUKH!
Ray tidak sempat menoleh. Tendangan tajam menghantam sisi kepalanya dari belakang, cukup keras untuk menjatuhkannya ke lantai.
Ia terbatuk, tangannya meraba pelipis. Saat mengangkat kepala, Gaska berdiri di hadapannya.
Langkahnya pelan, tenang. Napasnya stabil. Tak ada amarah yang meledak. Hanya tatapan tajam yang menghujam seperti pisau tipis.
Ray terpaku.
"Kita?" gumamnya pelan.
Kiyo meludah ke samping. "Surprise."
Gaska tak buang waktu. Ia menarik Ray berdiri hanya untuk melempar tubuhnya ke lantai kembali. Hantaman demi hantaman mendarat di perut, bahu, rahang. Ray mencoba melawan, tapi tak ada ruang—Gaska bergerak terlalu cepat, terlalu dingin, terlalu terlatih.
Beberapa menit kemudian, Ray terkapar. Terengah. Matanya buram.
Gaska berjongkok di sampingnya, tangannya menahan dagu Ray agar menatap langsung ke wajahnya.
"Rasanya gimana?" bisiknya pelan. "Kalah dari gue. Lagi, dan lagi."
Ray menahan napasnya, nyaris bicara, tapi Gaska melanjutkan tanpa memberi jeda.
"Dari nilai akademik, gue menang. Dari orang tua lo? Gue anak emas. Dan dari Zea ...." ia mendekat. "Lo cuma tokoh yang beruntung gue kasih panggung."
Ray membuka mulut, tapi tak ada suara.
Gaska tersenyum kecil. "Gue yang bantu sebarin gosip itu. Gue yang bikin semua ini seolah-olah jalan mulus buat lo. Lo pikir lo menang?"
Hening. Kiyo tak berkata apa-apa, kali ini ia bangkit, duduk dan menonton.
"Kalau lo pengen nyalahin orang ... jangan gue. Salahin Hana. Kalau bukan karena dia, Zea gak akan sedekat itu sama gue." Gaska menatap Ray dengan sorot gelap. "Oh ya, katanya Hana juga ngelaporin lo karena pengen merkosa Zea."
Ray menegang, matanya membelalak. Sesuatu meledak dalam dirinya ... marah, malu, dendam.
"Anjing ...." gumamnya. Tangannya mengepal, gemetar.
Dari arah pintu, suara langkah cepat terdengar, Zea berdiri di sana, shock.
Terkejut saat melihat Ray terkapar penuh luka, dan Gaska berdiri di atasnya.
"Zea—" Ray mencoba bicara.
Tapi Gaska berbalik, mendekat pelan. "Jangan lihat."
Tangan Gaska menutup mata Zea dengan lembut, lalu dalam satu gerakan, membawanya pergi dari tempat itu. Zea tak sempat menolak, keadaan terlalu membingungkan.
Elga akhirnya muncul, membantu Kiyo berdiri.
"Sorry, bro," katanya pelan. "Kalau lo ngerasa dikhianatin ... ya, mungkin emang iya."
Ia menunduk, wajahnya sedikit muram. "Tapi ini pelajaran. Nggak semua hal bisa lo lakuin semau lo, terus berharap dunia maklum."
Tanpa kata lain, Kiyo membalik badan dan meninggalkan Ray sendirian di lantai. Lampu di atas berkedip sebentar, lalu mati satu per satu.
Gelap.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)