"Zea adalah anak kandung saya. Dan saya tidak akan tinggal diam kalau dia disakiti."
Tapi setelah jeda singkat, tatapan Armand mengeras pada layar ponsel yang masih menunjukkan foto Zea.
"Dan dia juga harus diingatkan," gumamnya. "Kalau dia bisa sembunyi-sembunyi jalan dengan orang yang jelas-jelas pernah merusaknya, itu artinya dia belum tahu mana yang benar dan mana yang bahaya."
"Apa maksud kamu?" Rania bertanya.
"Saya akan pastikan Ray kena. Tapi Zea juga harus belajar ... bahwa kebebasan bukan berarti sebebas itu mempermainkan kepercayaan keluarga."
"Papa mau apa?"
"Dia butuh pendamping profesional. Psikolog. Dan mungkin ... terapi penahanan sementara. Di bawah pengawasan keluarga."
Hana terbelalak, nyaris terlalu kaget untuk merasa bersalah. "Maksud Papa ... dia akan dikurung?"
"Bukan dikurung. Dipulihkan," jawab Armand tegas.
Dan di antara semua rencana licik yang pernah Hana susun, yang satu ini ... bukan berasal darinya.
Tapi justru terasa jauh lebih memuaskan.
.
Rasanya belum cukup. Ada sesuatu yang masih tertinggal. Itu yang membuat langkah Hana terasa ringan tapi gelisah saat keluar dari rumahnya. Udara malam sudah mulai turun, namun ia tetap mengenakan blouse tipis berwarna gading yang menambah kesan rapuhnya.
Tujuannya jelas.
Ia harus mengamankan satu titik lagi sebelum semuanya runtuh.
Gaska.
Karena kalau Zea berhasil berdiri kembali—dan sayangnya, Hana tahu gadis itu sangat mungkin melakukannya—maka Gaska akan jadi pondasinya.
Dan pondasi itu harus diguncang duluan.
Rumah Gaska seperti biasa, sepi. Tak ada suara musik, tak ada anak kecil berlarian. Gerbang otomatis terbuka pelan saat Hana menekan bel. Tak lama, pintu rumah terbuka dan menampakkan sosok lelaki jangkung berjaket abu yang tampak baru keluar dari kamar.
"Hana?"
Hana berusaha menata napasnya yang masih tak teratur. "Maaf ya, aku mendadak datang kayak gini."
Gaska menatapnya sekilas, membuka pintu lebih lebar. "Masuk aja."
Setelah Gaska mempersilakan Hana duduk di ruang tamu, suasana sempat hening beberapa saat. Gaska duduk dengan wajah bingung, memperhatikan napas Hana yang masih naik-turun.
"Lo ngos-ngosan banget. Ada apa?"
"Aku nggak apa-apa ...." Hana menggeleng pelan, sambil melirik ke arah sekeliling rumah. "Papa dan Mama nggak di rumah, ya?"
"Udah seminggu di Surabaya," jawab Gaska, santai. "Gue cuma sama Elio di atas. Kenapa emangnya?"
Hana mengangguk singkat, lalu menyandarkan tubuhnya, berusaha terlihat tenang. Beberapa detik ia diam, seolah sedang memilih kata.
"Aku ... cuma pengin bicara soal Zea." suaranya pelan.
Gaska mengangkat alisnya.
"Aku tahu ... mungkin kamu nggak akan percaya. Tapi ... aku baru aja dapat kabar."
Ia menatap Gaska, mencoba menahan senyumnya agar tak terlalu tampak puas. "Ternyata selama ini Zea ... bukan ilang, Gas. Bukan nggak bisa dihubungi karena masalah atau apa."
"Apa maksud lo?" Gaska langsung duduk tegak.
"Aku juga kaget. Tapi katanya, Zea tuh ... diam-diam pergi sama Ray."
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)