Zea tak menggubris, wajahnya di tengadahkan ke arah Gaska, sejenak tak ada yang mengerti apa yang tengah di lakukan gadis itu.

Sampai akhirnya, Gaska maju selangkah, menarik tisu dari saku celananya, lalu mengusap hidung dan pipi Zea dengan cekatan.

Sunyi.

"Ngapain liat-liat?" gadis itu mendengus, kembali berbaring memeluk tubuh Dira. "Kayak nggak pernah liat orang pacaran aja."

.

"Hana menderita Delusional Disorder."

Zea terdiam. Sejenak, tidak ada suara selain detak jam di dinding dan suara napas Dira yang sedikit terdengar tersekat.

"Lo udah sadar dari lama, kan?" Dira menarik napas dalam, mencoba menahan rasa sakit yang mulai merayapi dadanya. "Selama ini dia kayak gak pernah ngelihat kita sebagai orang biasa."

Zea memalingkan wajahnya sedikit, memperhatikan Dira dari sudut mata. Diam, tetapi matanya menunggu kelanjutan penjelasan. Dira menggelengkan kepala pelan, semakin tenggelam dalam pemikirannya.

"Dia selalu nyalahin orang lain kalo sesuatu gak sesuai keinginannya. Misalnya, waktu dia dorong gue ... Itu bukan karena marah atau benci. Di pikirannya, gue tuh hambatan buat dia, buat cerita dia," lanjut Dira, di liriknya Zea yang tak bergeming di bayangan cermin. "Tiap kejadian yang gak sesuai dengan dia, ya dia coba atur ulang. Nggak peduli orang lain terluka."

Zea mengangguk pelan, memahami. Tanpa berkata apa-apa, ia tetap berdiri di samping Dira, menunggu lanjutan penjelasan itu. Dira menatap cermin dengan pandangan kosong.

"Delusional disorder, tepatnya Grandiose type, dia ngeliat dunia seolah-olah dia yang punya kontrol penuh, kan? Dia anggap dirinya sebagai pusat segala hal ... lo pernah denger gak, Zea, waktu dia ngomong soal lo dan Ray? Dia selalu bilang kalo lo harus sama Ray ... kayak itu skenario yang udah dia atur. Lo harus tetep ngejar Ray, dan Ray ngejar dia."

Dira menghela napas, merasakan berat yang mulai mengganjal di dadanya.

"Lo nggak takut? Kalau dia terus kayak gini?" tanya Dira setelah lama terdiam.

Zea menatapnya, kemudian menggeleng pelan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.

Memikirkan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Dira, tentang Hana. Tentang penyakit yang kemungkinan besar sedang diderita gadis itu. Dira mungkin tidak tahu, tapi Zea sudah lama curiga. Sudah lama merasa ada yang aneh dengan tingkah laku Hana. Bahkan, sebelum kejadian Dira didorong, saat pertama kali ia membaca diary milik Hana, Zea merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres.

Zea masih ingat betul saat itu. Dia tak sengaja menemukan diary itu di laci meja belajar Hana, waktu itu Hana sedang di luar. Dengan rasa penasaran yang tak bisa dibendung, Zea pun membuka diary itu dan membaca beberapa halaman yang membuatnya terdiam cukup lama.

7 April
Aku nggak suka ngeliat Gaska yang terlalu dekat dengan Zea, jadi, aku memutuskan untuk menghancurkan busana sialan itu saja sekalian!

8 April
Aku memang kesal sama Zea, tapi aku akan tetap berusaha mendekatinya. Dia harus jadi antagonis yang berhasil aku taklukkan, seperti Maleficent untuk Aurora, seperti Anastasya untuk Cinderella, Zea harus ada untuk Hana. Kalau nggak... lebih baik Zea hancur kayak antagonis lainnya.

Membaca diary itu membuat Zea merasa mual. Dua hal yang jelas Zea sadari setelah itu: pertama, Hana tidak hanya menganggapnya sebagai musuh, tapi juga benar-benar memandangnya sebagai bagian dari cerita besar dalam hidupnya—seperti musuh dalam novel. Kedua, entah bagaimana caranya, Hana tahu kalau dunia ini bukanlah dunia nyata. Dunia ini adalah dunia sebuah novel, dan Hana adalah pemeran utama di dalamnya.

Zea menyandarkan punggungnya ke dinding, perlahan memejamkan mata. Pikiran itu terasa berat, seperti beban yang menumpuk di kepala. Jika Dira benar—bahwa Hana menderita Delusional Disorder—maka setidaknya Zea masih bisa mengendalikan keadaan.

Tapi bagaimana jika Hana benar-benar sadar? Bagaimana jika gadis itu juga sudah tahu alur yang seharusnya terjadi di masa depan?

Atau apakah semua ini hanya hasil dari imajinasi dan gangguan pikirannya?

Zea tahu, Hana selalu merasa dirinya menjadi pusat dari segalanya. Semua keputusan, semua konflik, bahkan hubungan antar karakter di sekitar mereka, semua berputar di sekitar dirinya.

Seperti yang tertulis dalam diary itu, Hana memang melihat Zea sebagai antagonis yang ingin ia taklukan, jika tidak bisa, maka harus dihancurkan, seperti karakter jahat dalam cerita yang harus ada untuk melengkapi kisah sang protagonis.

Zea menggigit bibirnya, berusaha mencerna semua informasi yang baru saja ia dapat. Ia tak bisa membiarkan Hana terus seperti ini. Tapi ... bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Dira? Dunia ini bukan dunia nyata.

Bahkan Zea yang kini berdiri dihadapannya, bukanlah Zea yang asli.

.

Dari karakter yang aku gambarkan, Delusional Disorder (Grandiose Type) paling cocok untuk Hana. 

Alasannya: 
Hana punya keyakinan kuat bahwa dia adalah "pemeran utama" dalam kisah hidupnya. Ini bukan sekadar fantasi, tapi sudah menjadi bagian dari identitasnya. 
Dia tetap bisa membedakan realitas, tapi menafsirkannya sesuai dengan narasi "dongeng" yang ia yakini. Saat mendapat beasiswa dan diangkat menjadi putri oleh keluarga kaya, keyakinannya semakin kuat bahwa dia adalah "Cinderella." 
Konfliknya dengan Zea muncul karena dia melihat Zea sebagai gangguan dalam skenarionya. Dia tidak sekadar ingin berteman dengan Zea, tapi ingin "menaklukkannya" agar Zea masuk ke dalam perannya di cerita yang Hana bayangkan. 
Dia bisa bersikap sangat lembut dan baik, tapi memiliki sisi manipulatif tanpa disadari. Jika Zea menolak "perannya," Hana mungkin akan merasa bingung atau frustrasi, tapi tetap berusaha membuat Zea tunduk dengan caranya sendiri. 

Kenapa selama ini Hana tergila-gila ingin berteman dengan Zea? Karena Hana merasa Zea itu adalah tantangan, disaat yang lain berpihak, hanya Zea yang menantangnya terang-terangan.

Dia tidak gila atau sepenuhnya kehilangan akal, tetapi dia keras kepala dalam mempercayai narasi hidupnya sendiri. 

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now