"JANGAN BOHONG! AKU LIHAT DENGAN MATA KEPALA AKU SENDIRI!" 

Tangis Hana pecah dalam sekali kedip, air mata mengalir deras di pipinya.

Sementara itu, Gisel berdiri di sana, membeku, tak tahu harus lari atau menyangkal. Dunia seolah membalik dalam satu detik—dan Hana, sekali lagi, berhasil mengambil kendali ketika kini ia berhasil menarik perhatian publik di sekitar mereka.

.

Langit-langit putih itu menyilaukan. Sekilas, Dira pikir ia sudah meninggal dan berada di ruang tunggu antara surga dan neraka. Tapi aroma disinfektan yang menyengat di hidung membantah semua itu.

Ia masih hidup.

Sayangnya.

Seketika rasa nyeri menyambar, mulai dari tengkuk hingga ujung jari kaki. Rasanya seperti ditabrak satu angkot penuh kernet. Dira meringis, mencoba bergerak pelan, dan langsung menyesal. Salah sedikit, nyerinya menjalar seakan ada pasukan lebah ngamuk di dalam persendian.

Ia mengumpat dalam hati. Satu kelengahan kecil. Satu senyum palsu dari Hana. Dan ... satu dorongan kecil yang membuatnya mencium anak tangga tanpa peringatan.

Ia hendak mengangkat tubuh, tapi tiba-tiba tangan seseorang menahan gerakannya. Suara berat dan familiar menyusul.

"Jangan. Lo baru bangun."

Dira menoleh pelan. Elga duduk di samping ranjang, wajahnya kelihatan seperti zombie habis begadang.

"Lo sejak kapan di sini?"

"Sejak lo belum sadar. Udah dua hari, lo tahu? Dua hari gue duduk di kursi itu, ngadepin suster yang udah hapal nama tengah gue."

Dira mengerjap. "Dua hari?"

Elga menghela napas, lalu meraih ponsel. "Zea lagi di kantin. Gue kabarin dulu, nanti dia nangis kehabisan tisu di depan kasir."

"Tapi ...." Dira mengerjap. ".... Ngapain mereka di sini?"

Elga mengangkat bahu. "Gue juga nggak ngerti. Dari tadi mereka ikut aja. Katanya mau jenguk lo."

Dira menatap mereka bingung. Ray mengangguk singkat, Kiyo melambaikan tangan dengan canggung.

Padahal mereka saja tidak pernah mengobrol, apalagi dengan si Kiyo-Kiyo itu.

Sebelum Dira bisa bertanya lebih lanjut, suara teriakan familiar terdengar di lorong.

"Diraaaa!"

Zea menerobos masuk, napasnya memburu. Wajahnya sembab, sisa air mata masih terlihat di pipinya. Tanpa basa-basi, ia langsung memeluk Dira dengan erat.

Dira meringis. "Zea ... sakit ...."

"Gue kira lo nggak bakal bangun! Gue sempat mikir lo amnesia, terus lo lupa nama gue!" isaknya.

"Kalau lo peluk gue lebih kenceng, mungkin gue bakal lupa nama sendiri."

"Sialan emang, siapa pun yang udah bikin lo kayak gini, bakal gue gilas!"

Zea menarik diri perlahan, mengusap matanya. Di saat itulah, Gaska masuk begitu saja lewat pintu yang belum sempat ditutup, membawa tas selempang Zea di bahu kanannya.

Tiba-tiba suasana jadi ... ganjil.

Ray dan Kiyo mendekat, nyaris bersamaan.

"Lo udah makan belum?" Ray berdiri di sisi kanan Zea, memegang sekotak jus.

Sedangkan Kiyo di kiri. "Kalau capek, duduk di sini aja, Zea," timpalnya, menunjuk kursi di samping ranjang, kursi yang sebelumnya diduduki Elga.

"Hello ... yang sakit disini gue loh?" Dira mendecak.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now