"Cinta cinta mata lo!" Kiyo langsung berdiri, lama-lama ia kesal juga terus di tuding yang tidak-tidak, apalagi dengan Zea, gadis menyebalkan yang paling ia benci di sekolah ini.

Namun Elga belum berhenti, ia malah merangkul bahu Kiyo dengan semangat. "Jangan terlalu benci, nanti jadi jodoh, kasian Zea."

Kiyo melirik sebentar, cukup tajam, namun tak ingin meladeni keresean Elga lebih jauh, karena itu akan lebih memperburuk keadaan.

Lagi pula kenapa harus kasihan pada Zea jika gadis itu benar-benar berjodoh dengannya? Jika di pikir-pikir lagi, tak ada ruginya juga.

Kiyo langsung membekap mulutnya, berharap senyumnya tidak terlihat oleh siapa pun.

.


"Kenapa sih dia nggak ngabarin sama sekali? Tadi bilang sebentar lagi kelar rapat, tapi udah setengah jam lewat, mana balesan kagak ada ...." Zea menggigit cemilannya keras-keras, lalu melirik layar ponsel yang sunyi.

Dira duduk di sampingnya, satu kaki disilangkan, ekspresi wajah datar penuh sabar. "Zea, lo sadar nggak, lo tuh ngerengek kayak orang LDR sebulan. Padahal baru ditinggal tiga jam. Itu juga karena dia rapat OSIS, bukan kabur ke luar negeri."

Zea mendesah panjang. "Gue tuh cuma ... ya kangen. Salah?"

Dira melirik sekilas. "Lebay lo ngalahin pengantin baru, heran ngapa si Gaska betah ya?"

Zea terdiam. Gigitannya melambat, sebelum ia sempat membalas, sebuah bola basket melesat dari depan. Tanpa peringatan, bola itu menghantam tembok tepat di samping kepala gadis itu dengan suara hantaman keras.

"WOY, KOCAK!" Zea langsung lompat kecil dari tempat duduknya, mata membelalak. "Siapa yang mentalnya rusak lempar bola ke kepala orang?!"

Ray muncul dari arah lapangan, napasnya agak berat, rambutnya berantakan, tapi matanya tetap cuek. Ia menatap Zea singkat. "Refleks lo masih bagus."

"Raflak reflek raflak reflek!" Zea berdiri dan menunjuk ke arah dinding. "Bola lo nyaris bikin jidat gue pecah!"

Ray mendekat beberapa langkah. "Nggak kena kan?"

"Nggak kena?! Ya iyalah, gue nunduk! Bayangin kalo gue telat sepersekian detik!"

Ray mengangkat bola yang tadi hampir mencelakai Zea, lalu melemparkannya ke lapangan. "Udah, salahin angin. Bola gue juga kayaknya udah kangen lo."

Zea melongo. "Apa sih? Itu nggak lucu!"

Ray hanya mengangkat bahu. "Kalau lo duduk di situ terus, risiko kena bola tinggi. Pindah sana, ntar lo kenapa-kenapa."

"Dih?" Zea berkedip cepat. "Apa-apaan sih maksudnya ...?"

Dira hanya bersandar santai, mengunyah snack-nya pelan. "Itu tuh ... bahasa dingin dari, lo hati-hati ya. Terserah lo mau paham atau nggak."

Zea mengerjap. "Dia ngomong gitu?"

"Secara teknis, enggak. Tapi secara vibe, iya."

Zea mendesah. Matanya mengikuti Ray yang kembali ke lapangan basket. "Bisa nggak sih cowok-cowok di sekitar gue ngomong normal aja?"

Dira tersenyum simpul. "Kalau normal, lo nggak bakal naksir."

"Gue naksirnya ke Gaska doang ya, yang lain skip," dengus Zea, buru-buru meluruskan.

Koridor mendadak gaduh.

Kerumunan murid bergerak membuka jalan bagi Hana yang terlihat limbung diapit dua teman perempuannya. Sebelah lengannya memar besar, ungu, nyaris hitam, kontras dengan seragam putihnya. Semua mata langsung terpaku.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now