"Enggak, gue langsung aja ya," jawabnya pelan.
Hana mengangguk. Wajahnya tetap tenang, tapi gerakan tubuhnya melambat. Saat ia hendak membalikkan badan, Ray menahan pergelangan tangannya.
Hana menoleh. Ada jeda yang aneh. Jantungnya sempat berdegup cepat—berharap, mungkin Ray akan bersikap romantis, seperti dulu. Tapi yang ia dapatkan bukan pelukan atau senyum.
"Hana," panggil lelaki itu. "Kita putus, ya."
Hana membeku.
Ray menatapnya lama, lalu bicara dengan suara yang datar tapi jujur. "Gue pikir selama ini gue udah bener-bener ngelupain Zea. Gue pikir kalau gue bareng lo, yang karakternya jauh dari dia, gue beneran ngelupain dia. Tapi ternyata enggak, Han. Pas Zea mulai ngejauh ... justru makin sering gue mikirin dia."
Ia mengusap tengkuknya, kelihatan canggung, tapi tak menarik kembali kata-katanya.
"Gue nggak pernah bohong kalau gue sayang sama lo. Tapi itu nggak cukup, bukan perasaan yang bisa bikin gue bertahan lama-lama di hubungan ini. Gue nggak mau lo jadi pelarian. Lo terlalu tulus buat itu."
Hana mendengarkan dalam diam. Napasnya terasa berat. Ia ingat awal mereka dekat. Bagaimana Ray, yang dulu menjadikannya target ejekan, tiba-tiba berubah. Mengikat, memperlakukannya seolah Hana adalah miliknya. Ia menerima semua itu, bahkan ketika banyak yang mempertanyakan. Dan sekarang, saat ia sudah terlalu dalam ... Ray bilang semua ini hanya upaya untuk melupakan perempuan lain?
Satu tamparan mendarat di pipi Ray. Cepat, tapi keras. Ray tidak menghindar.
"Brengsek!" desis Hana, tajam dan dingin.
Ia berbalik, membuka pintu pagar, lalu masuk tanpa menoleh lagi. Ray tetap berdiri di sana, menatap punggungnya menghilang di balik pintu. Tidak ada rasa marah di wajahnya. Hanya sepi dan sedikit sesal. Tapi ia tahu, keputusan itu sudah benar—meskipun caranya salah.
.
Malam fashion show datang sekejap mata.
Zea duduk di depan meja rias dengan wajah masam. Peserta lain bahkan sudah banyak yang keluar ruangan karena urusan mereka sudah selesai dari tadi, hanya ia saja yang duduk di ruangan ini sendirian.
Ponselnya bergetar, lagi.
Dari tadi notifikasi dari Gaska terus berdatangan. Tapi Zea tak berniat membukanya. Dengan kesal, ia membalik ponselnya dan melemparkannya ke sisi meja.
Belum cukup sampai situ, Kiyo pun belum juga muncul, padahal mereka hanya punya waktu beberapa menit sebelum naik ke panggung. Zea melirik jam dinding, lalu mendengus.
"Tengil banget sih, cowok semua!" gumamnya kesal.
Lalu terdengar suara dentuman logam dari ruangan sebelah. Zea mengernyit. Ruang itu biasanya kosong, kecuali ... ruang ganti atlet.
Perasaan tidak enak langsung menghampiri, tapi ia mencoba mengabaikan. Namun suara dentuman itu muncul lagi, kali ini diiringi suara seperti seseorang mencoba menendang pintu.
Langkahnya cepat menuju ruang sebelah. Dan benar saja—salah satu pintu loker besar terlihat ditahan tali tambang yang dililitkan melingkari pegangan besi.
Zea mendekat, curiga. "Halo?"
"TOLONGIN GUE!"
Zea membeku sejenak, tapi begitu suara itu terdengar lebih jelas, itu suara Kiyo, ia langsung bergerak. Tali tambang di pegangan pintu itu tampak diikat erat dan berlapis-lapis. Siapa pun yang melakukannya, jelas sengaja.
"Tenang, Ki. Gue buka ini sekarang," katanya cepat.
Tangannya gemetar sedikit karena panik dan emosi yang campur aduk. Jari-jarinya berusaha menarik-narik ikatan yang kusut itu, tapi simpulnya terlalu rapat. Zea akhirnya mengambil gunting dari meja dekat dinding, dan dalam beberapa potongan kasar, tambang itu akhirnya putus.
Pintu terbuka, dan Kiyo nyaris jatuh keluar.
Napasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipis. Ia tampak kacau ... dan takut. Fobia ruang sempitnya benar-benar memukul keras.
Zea mencoba meraih lengannya, tapi Kiyo menepis cepat, masih terjebak dalam ketakutan.
"Kiyo ... lo baik-baik aja!" ujar Zea lebih pelan, tak tersinggung, hanya khawatir.
Tapi sebelum Kiyo bisa merespons, tawa-tawa nyaring terdengar dari ruangan rias sebelah. Suara sekelompok gadis yang baru masuk, berbincang santai, kemudian berubah jadi tajam ketika mulai membicarakan satu nama.
"Kiyo katanya anak haram, ya? Bokapnya kepsek kita, tapi nyokapnya gundik katanya."
Kiyo langsung menunduk, wajahnya memucat. Helaan napasnya kembali tersendat.
Zea tak bergerak. Mendengarkan kata demi kata menancap ke dalam. Ia tahu adegan ini. Ia tahu yang seharusnya menyebarkan gosip itu adalah perannya, tapi jika ia saja memutuskan untuk tidak membocorkan rahasia Kiyo sedikit pun, lalu siapa?
"Eh, tapi Zea tahu berita gini dari mana deh?"
Nama itu dilontarkan begitu saja, seolah tak berarti.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)