"Ya ... mereka bakal mikir macem-macem."

"Kalau emang mereka mikirnya beneran ... kenapa?" Zea mendekatkan wajahnya sedikit. "Gue kan cewek lo."

Gaska diam sesaat. Senyum kecil menggantung di sudut bibirnya. "Emang lo cewek gue?"

Langkah Zea langsung terhenti di tengah koridor, Gaska yang masih menggenggam tangannya ikut menoleh. Gadis itu nampak sedang mencerna sesuatu.

"Emang gue bukan cewek lo?"

Gaska tak bisa berbohong, raut wajah Zea yang mendadak serius itu justru terlihat lucu. Kekeh kecil lolos dari mulutnya, pelan tapi menyebalkan.

"Gue bukan cewek lo?!" Suara Zea langsung naik satu oktaf, matanya membelalak, dan tangan satunya menunjuk ke dada Gaska. "Gue ... bukan ... cewek lo ...?"

Gaska mengangkat alis. "Ze—"

"Setelah ciuman malam itu?! Kita tukeran playlist, nonton bareng, ngobrol tiap malam, lo anter gue pulang! Terus sekarang lo nanya gue cewek lo apa bukan?!"

Zea terdiam sesaat.

Lalu ingatan menyergapnya seperti kilatan petir di siang bolong.

Setelah malam ciuman itu, entah bagaimana, hubungan mereka memang mengalami peningkatan pesat. Intens, Gaska jadi lebih sering muncul di hidupnya, jadi lebih perhatian, bahkan kadang bisa manis sekali. Tapi tetap ... belum pernah sekalipun lelaki itu menyatakan dengan jelas hubungan mereka.

Dan Zea?

Sialnya, ia sudah kadung flexing kesana kemari. Ke geng gadis-gadis seangkatannya, ke anak kelas bawah, bahkan ke Kiyo—si julid abadi yang selalu punya komentar pedas tiap kali Ray muncul di sekitar Zea.

Zea menarik napas panjang, lalu—

"Gue mallluuuu ...!" teriaknya, menjambak rambut sendiri dan menjauh dua langkah dari Gaska.

"Zea, denger dulu." Gaska mendekat.

"Udah, Gaska!" Zea mendorong pelan dadanya. "Lo tuh ... masa iya gue pacaran sendiri?!"

"Siapa yang bilang lo pacaran sendiri?"

"LO, KALI!" pekiknya frustrasi, lalu langsung berlari cepat, seolah baru ingat bisa kabur dari rasa malu.

Gaska terpaku di tempat. Suasana di lorong sekolah jadi hening sesaat.

Lalu tawa pelan keluar dari bibirnya. Makin lama makin keras, Gaska memegangi perutnya sambil tertunduk, tawanya benar-benar pecah tanpa bisa ditahan.

Ia memanggil lagi. "Zea!"

"SETAN!"

.

Ray memarkirkan motornya pelan di depan rumah baru Hana. Rumah dua lantai yang belum lama direnovasi itu berdiri tegak dengan lampu-lampu halaman yang menyala hangat. Di balik pagar putih yang perlahan terbuka, Hana menoleh, lalu tersenyum pelan.

"Mau masuk dulu?" tawarnya lembut.

Ray menatap rumah itu sejenak, diam. Pandangannya melewati pekarangan, menyapu pintu masuk yang terbuka sedikit. Di dalam sana ... mungkin saja ada Zea. Dan Ray tahu kabar itu, tentang pernikahan ayah Zea dengan ibu kandung Hana. Dunia mereka yang dulu terpisah, sekarang bertaut dalam garis nasib yang aneh.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now