Zea tak langsung merespons. Ia hanya membalikkan tubuh pelan, satu alisnya terangkat malas, bibirnya membentuk senyum miring. Ada ketenangan sinis dalam sikapnya, seperti seseorang yang tahu bahwa semua ini cuma permainan yang sedang ia atur ritmenya.

"Tante bisa marah ya? Takut banget," katanya datar. "Tenang, aku nggak datang ke sini cuma buat ngerusuh kecil-kecilan."

Rania mengernyit, napasnya memburu.

Zea mendekatkan wajahnya sedikit, lalu berbisik pelan dalam nada yang menekan harga diri Rania. "Aku datang ke sini untuk memastikan satu hal. Dalam waktu sebulan ... Tante sudah di ceraikan sama Papa."

Zea menarik tangannya paksa, melanjutkan langkahnya untuk masuk ke kamar, membiarkan pintu berdentum nyaring didepan wajah sang Mama tiri. Rania masih berdiri mematung, rahangnya mengeras, dadanya naik turun seperti menahan badai yang baru saja mengetuk pintu.

.

"Awas, jangan duduk di situ, nanti bangkunya hamil."

Tawa beberapa siswi meledak tanpa empati. Aula sekolah penuh riuh—musik latihan runway berdentum dari speaker besar, guru-guru sibuk mondar-mandir mengatur jadwal, sementara para perwakilan kelas 12 mulai bergantian berjalan di jalan setapak buatan.

Zea tidak menoleh. Ia tahu suara itu ditujukan padanya, seperti hari-hari sebelumnya sejak Gisel menyebar kabar busuk tentangnya.

Gosip memang tidak punya kaki, tapi entah bagaimana ia bisa berlari begitu cepat, menampar reputasi tanpa ampun. Sekuat apapun Zea menyangkal, tidak ada yang betul-betul peduli. Mereka lebih memilih percaya pada suara paling nyaring, bukan kebenaran.

Zea hanya melenggang melewati mereka, dengan wajah datar, dan telinga pura-pura tuli.

"Jangan deket-deket dia, nanti disangka nginep bareng," bisik yang lain.

Namun mendadak—

"Mulut lo masih pengen utuh, atau gue bantu tutup permanen?"

Suara berat itu memotong udara. 
Semua kepala menoleh.

Ray berdiri tidak jauh dari mereka, lengannya terlipat, dengan sorot mata tajam menusuk siswi yang tadi tertawa paling keras.

"Gue cuma bercanda, Ray ...."

"Lucu banget." Ray melangkah pelan, penuh tekanan. "Sekali lagi gue denger lo ngomong kayak tadi, lo pikir reputasi siapa yang bakal tamat duluan?"

Seketika, yang tadi berani bicara kini menunduk. Hening menyapu sebagian aula—bahkan musik sempat terdengar seperti bisikan.

Zea mengerutkan dahi, menoleh ke arah Ray sejenak. Ia tidak mengerti. Lelaki itu tidak pernah bersikap sehangat ini—bahkan saat mereka masih bersama, Ray tetap Ray: dingin dan nyaris tak tersentuh.

"Tumbenan mantan lo nyalain api demi lo," bisik Elga yang muncul dari belakang Zea, sambil menyilangkan tangan.

Zea mengangkat bahu. "Kuasa Allah."

"Masyaallah tabarakallah." Elga menggeleng-gelengkan kepala penuh takjub.

Zea tidak membalas tatapan Ray. Tidak juga tergerak untuk mengucap terima kasih. Bagi Zea, itu bukan penyelamatan—itu cuma percikan lain di atas bara yang belum juga padam.

Gadis itu melangkah menjauh, meninggalkan Elga yang masih setengah penasaran.

Kiyo, yang sedang duduk menyusun urutan lagu di dekat panggung, langsung berdiri saat melihat Zea datang.

Gadis itu menggulung lengan bajunya. "Jangan nyenggol, ya? Gue tahu lo jijikan."

Kiyo mendecak. "Gue cuma jaga diri. Gak semua cewek boleh seenaknya pegang-pegang gue."

Zea mendekat satu langkah, lalu satu langkah lagi—sampai Kiyo tanpa sadar mundur. "Tenang aja. Gue juga jijik. Tapi namanya kerja sama, ya, kudu totalitas."

Zea masih ingat alasan mengapa bagian runway jatuh padanya dan Kiyo. Bukan karena mereka cocok, tapi karena dunia ini ingin menyiksanya seperti layaknya cerita klasik, di mana antagonis yang kelelahan mengejar cinta protagonis akhirnya beralih mendekati tritagonis, yang berarti iti adalah Kiyo.

Masalahnya, Kiyo bukan tipe yang bisa digoda. Ia terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan pada Zea. Julid, sinis, dan tajam. Ia seperti Seyren, hanya saja dalam versi lelaki. Maka tak heran jika Zea dulu membalas kebencian itu dengan lebih kejam.

Malam sebelum lomba fashion show dimulai, Zea membeberkan rahasia masa lalu Kiyo, bahwa ia lahir dari rahim seorang gundik. Tak cukup sampai disitu, Zea bahkan mengurung Kiyo di lemari besi di ruang ganti. Tapi justru disana, Hana datang dan menyelamatkannya. Momen yang dibutuhkan untuk memperkuat benih perasaan Kiyo pada Hana.

Itu memang tindakan jahat, tapi Zea saat itu adalah antagonis. Dan tak ada yang bisa berharap kelembutan dari seorang tokoh jahat.

Bagaimana jika pola itu berulang? Tubuh Zea kini di isi oleh Seyren. Ia tak tertarik memainkan drama murahan, daripada sibuk mengejar-ngejar Kiyo dan membongkar rahasia masa lalunya, lebih baik fokus pada lomba. Ia punya tekad, dan ia benci kalah.

Mereka mulai berjalan beriringan, menyusuri runway buatan yang dibatasi selotip warna-warni. Langkah-langkah mereka belum seirama. Beberapa kali Kiyo terlihat dengan sengaja menjauhkan bahunya saat Zea terlalu dekat, dan Zea membalas dengan justru semakin mepet.

"Serius deh, lo kayak lagi ngehindarin virus," kata Zea yang mulai kesal.

"Karena mungkin lo emang virus," balas Kiyo, tak kalah sengit.

Zea mendengus pelan. "Kalau gue virus, lo bakteri. Sama-sama nyebelin."

"Lo nyebelin duluan."

"Lo yang nyindir duluan."

Mereka saling lempar pandang, tajam tapi konyol, seperti dua anak kecil yang sedang adu ego di depan kelas. Beberapa anak yang memperhatikan mereka sampai melongo, berpikir mungkin ini bagian dari akting. Padahal jelas-jelas ini bukan latihan akting, tapi duel pasif-agresif dua makhluk yang punya lidah tajam.

"Lo kira gue seneng latihan begini?" kata Zea, tiba-tiba berhenti. Kiyo ikut berhenti, mengernyit.

"Gue juga punya pacar, tahu. Gue jaga perasaannya. Tapi karena gue orangnya profesional dan gak mau bikin malu kelas sendiri, makanya gue singkirin semua rasa geli ini buat bikin kemistri sama lo."

Di dalam hati, Zea sudah menetapkan satu hal sejak awal ikut lomba ini: ia harus menang. Bukan cuma karena ego, tapi karena ia orang yang optimis dan membenci kekalahan.

Kiyo menatapnya cukup lama sebelum akhirnya melirik ke sekeliling aula. Matanya menyapu kerumunan—sampai akhirnya berhenti pada dua nama yang paling mencolok di sekitar Zea: Elga dan Ray.

Elga? Tidak mungkin.

Dengan alis naik sebelah, Kiyo terkekeh. "Lo harus berhenti ngehalu soal Ray, Zea. Serius deh. Ray tuh gak bakal berpaling dari Hana cuma buat—"

"Ray lagi, Ray mulu." Zea langsung tertawa, keras dan penuh percaya diri. "Yang gue maksud Gaska, tahu. Cowok terkeren sepanjang masa di hati gue!" suaranya cukup lantang untuk memastikan orang-orang mendengar kalimatnya.

Kiyo spontan menoleh cepat. "Siapa?"

Zea menyeringai, lalu menjentikkan jari. "Lo gak kenal? Sayang banget. Tapi emang gak semua orang punya akses buat tahu cowok sekelas dia."

Kiyo spontan menoleh padanya dengan alis berkedut, tidak menyangka.

Namun latihan harus tetap berlanjut. Tapi bukan dalam diam—melainkan dalam kejulidan tingkat tinggi yang anehnya ... mulai terdengar seperti bentuk komunikasi mereka yang paling jujur.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now