.

Taman itu seperti jeda dalam pesta. Terletak di antara lampu-lampu mewah dan hiruk pikuk tamu-tamu berjas mahal, ada sudut kecil yang terlupa, hanya ditemani wangi rumput dan desir malam.

Di sanalah Zea duduk, membiarkan malam menghapus sisa emosi yang masih menggumpal di dadanya. Kepalanya menengadah ke langit gelap, seolah mencari bintang yang bisa memberinya alasan untuk bertahan waras malam ini.

Langkah pelan terdengar mendekat. Rania muncul dari balik bayangan, membawa anggur setengah penuh di tangannya.

"Boleh duduk disini?"

Zea menoleh sedikit, lalu mengangguk pelan. "Silakan."

Rania duduk perlahan di sampingnya, menjaga jarak secukupnya. Hening sejenak, hanya suara dedaunan yang bergesekan.

"Kamu cantik sekali malam ini," ucap Rania, tulus, meski suaranya terdengar hati-hati. "Kebaya itu ... seolah memang dirancang untuk kamu."

Zea tersenyum samar. "Padahal katanya dirancang untuk Mama."

Rania terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya ... Evelyn memang wanita yang luar biasa."

"Mama selalu sibuk," lanjut Zea, nadanya ringan. "Tapi kalau dia sempat datang malam ini, aku rasa semua orang akan setuju ... siapa yang pantas berdiri di altar itu."

Rania menarik napas, mencoba tetap tersenyum. "Zea ... tante tahu mungkin semuanya masih terasa aneh. Tapi tante sungguh ingin kita bisa saling mengenal. Tante nggak mau jadi orang asing di hidup kamu."

Zea menoleh padanya, menatap mata Rania dalam-dalam. "Oh, tenang saja. Tante bukan orang asing." ia tersenyum kecil. "Tante justru jadi topik hangat beberapa hari terakhir di rumah."

Rania menunduk sejenak, menahan rasa tak nyaman itu dengan senyum yang tetap ia pakai seperti topeng. "Tante tahu tante bukan Evelyn, dan tante nggak akan pernah bisa menggantikan posisinya. Tapi ... kalau ada ruang sedikit saja buat tante di hidup kamu, tante akan sangat bersyukur."

"Nggak ada." Zea memiringkan kepala, menyentuh nada hangat itu kalimat sindiran selanjutnya. "Dari Mama ke tante itu ... terlalu jomplang, entah apa yang Papa lihat dari tante, tapi aku nggak bisa ngasih ruang yang tante mau itu."

Rania terdiam. Tersenyum tipis, tapi tak mampu menyembunyikan rasa tertusuk di balik matanya.

Zea lalu berdiri pelan, mengusap sedikit lipatan di roknya. "Tapi nggak apa-apa kok. Semua orang berhak bahagia ... gundik juga manusia bukan?"

Rania mengepalkan tangannya mendengar kalimat kurang ajar yang ditunjukan Zea secara terang-terangan, ia baru akan membuka mulut. Tepat saat itu, Gaska dan Hana muncul dari sisi taman. Rania berdiri buru-buru, menyapa Gaska dengan hangat dan tersenyum pada Hana, seolah tak terjadi apa-apa barusan.

"Tante tinggal dulu ya. Kalian nikmati malamnya." lalu ia pergi, langkahnya cepat, punggungnya tegak, tapi napasnya sedikit berat. Anak sialan!

Zea hanya menoleh sekilas, lalu melirik Gaska dan menyambut lengannya dengan santai, mengaitkan tangan mereka. Ia menoleh pada Hana dan berkata ringan, hampir seperti gumaman yang dilempar angin.

"Hai, Hana. Kita saudari sekarang." nada suaranya hangat, tapi sorot matanya terlalu sadar, terlalu tajam untuk dianggap sekadar basa-basi.

Hana terdiam. Senyum tipisnya mengambang canggung. Matanya turun ke tangan Zea dan Gaska yang saling menggenggam, sebelum buru-buru menatap ke arah lain.

Zea tahu betul ekspresi itu. Ia menyimpannya dalam ingatan sejak dulu-pandangan Hana yang tak pernah bisa benar-benar menyembunyikan perasaannya, terutama saat menyangkut lelaki yang satu ini.

"Gue senang banget akhirnya bisa punya keluarga yang lengkap," lanjutnya, masih dengan nada manis. "Papa nikah lagi, Hana punya ibu baru, gue punya ... well, pasangan yang nggak ngebosenin."

Gadis itu menoleh ke Gaska dan tersenyum, senyum yang nyaris terlalu teatrikal jika bukan karena tatapan tulus dari lelaki itu yang, anehnya, justru tampak menikmati permainan ini.

Hana menarik napas pelan. "Kalian ... sejak kapan?"

Zea pura-pura berpikir, lalu menjawab, "Nggak penting kan, sejak kapan? Yang penting sekarang."

Tapi gadis itu belum selesai, kejutan lain masih ia susun. "Apalagi semalam ...."

Saat itu pula Gaska menoleh dengan mata melotot. Tapi Zea malah menunjukan raut tak bersalah. "Apa?"

Lelaki itu menarik napas, ia memperingati. "Jangan lo lanjutin."

"Apaansih?" Zea mendelik tak terima. "Lo nggak suka ya ama yang semalam?!"

"Ze—"

"Kissing kita sakral, Gaska!" gadis itu mengingatkan, entah mengapa ia jadi tersinggung. "Gue cium lo, lo diam gue cium, diam-diam lo bales ciuman gue, terus kita— mbbb ...!"

Gaska langsung menyeret Zea untuk menjauh, meninggalkan Hana yang mematung dengan wajah memerah, sebelum semua kalimat yang Zea keluarkan semakin tak terkontrol dan memberikan mereka dampak buruk.

Tbc

Sumpah, lagi tergila-gila ama album Rubynya Jennie please🧎‍♀️‍➡️😭

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now