Zea spontan menegakkan badan, lalu tersenyum canggung. "Malam, Tante. Tadi cuma ... coba-coba bikin kue."
Nima tersenyum lembut. "Coba-cobanya sampai aduk dapur, ya?"
"Ehehe, iya ... maaf ya berisik," kata Zea cepat, sambil menyelipkan rambut ke telinga.
Gaska diam di belakang, menahan tawa melihat Zea yang mendadak kikuk dan kalem banget di depan ibunya.
Nima mengambil air lalu kembali naik. Saat sosoknya menghilang di balik tangga, Zea menatap adonan yang masih belum karuan dan bergumam pelan. "Kenapa gue malah seneng banget tadi?"
Gaska sempat mendengarnya. Tapi bukannya merespons langsung, dia hanya menatap Zea dengan tatapan heran, lalu mengalihkan pandangannya ke mangkuk. "Nih adonan kayaknya gak bisa di selamatin."
Zea langsung kembali ke mode defensif. "Bisa dong! Selama belum gosong, belum gagal!"
"Dan selama lo masih salting, ini gak bakal selesai-selesai."
"Eh?!" Zea melemparkan kain kecil ke arah Gaska. "Gue gak salting!" tapi dengan senyum yang sulit di tahan.
.
Akhirnya, setelah kekacauan dapur yang melelahkan, aroma kue cokelat yang baru matang memenuhi seluruh ruang tamu. Kue itu tidak sempurna—bagian pinggirnya agak gosong, tapi setidaknya bisa di makan.
Zea menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan napas panjang.
Gaska menyusul duduk di sampingnya. Tidak terlalu dekat, ada satu bantal kecil di antara mereka. Seolah Gaska sengaja menjaga jarak. Mungkin bentuk sopan santun, atau mungkin ... karena ia tahu Zea sedang tidak baik-baik saja.
Beberapa detik hanya ada suara jam dinding dan napas yang masih naik-turun.
Zea menatap langit-langit, lalu bicara tanpa menoleh. Suaranya datar, tapi jelas terasa getirnya.
"Lo pasti tahu soal bokap gue yang bakal nikah ama nyokap Hana, kan?"
Gaska tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sedikit, matanya menelusuri wajah Zea yang menatap kosong ke langit-langit.
Zea terkekeh kecil, tapi tawanya hampa. "Aneh ya. Dunia kayak gak ada habisnya nyusahin gue."
Gaska masih diam, mendengarkan.
Zea melanjutkan, suaranya lebih pelan, nyaris seperti bisikan. "Gue emang gak pernah suka ama Hana. Tapi sekarang ... gue ngerasa benci. Bukan karena dia salah. Tapi karena semua orang tiba-tiba nempelin dia di hidup gue."
Ketika ia melirik dan sadar Gaska masih menatapnya, mendengarkan dengan tenang, Zea mengangkat bahu. "Gue udah terlalu banyak ngomong, ya? Lo gak marah, kan, kalo gue bilang gue benci adik angkat lo itu?"
Gaska akhirnya bicara, suaranya tenang, dewasa. "Enggak semua orang bisa nerima keadaan baru secepat itu, Zea. Dan lo enggak salah karena ngerasa marah atau benci."
Zea mengangkat alis, sedikit tidak percaya. "Jadi lo gak bakal belain dia?"
Gaska menggeleng pelan. "Gue gak ada di posisi buat belain siapa-siapa. Tapi kalo lo butuh didengerin, ya gue dengerin."
Zea menatapnya lama, matanya sedikit melembut.
Mereka pun melanjutkan obrolan. Awalnya ringan—tentang rasa kue buatan mereka yang terlalu manis, tentang dapur yang harus dibersihkan besok pagi. Lalu ketika hening memberi rentang, Gaska tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Lagian wajar lo iri sama Hana." Gaska menyeringai. "Dia juga bisa dapetin Ray dari elo."
"Jangan mancing gue ya." Zea meliriknya sinis. "Gue bisa aja naruh garam satu toples ke kuenya, bilangnya lo yang nyuruh."
"Kalo marah berarti bener."
Gadis itu mendesis pelan. "Gue tuh dulu suka Ray pas lagi masa-masa kurang gizi logika."
Mereka tertawa, entah mengapa obrolan ini malah menyerempet ke hal tidak penting seperti Ray.
Hingga akhirnya, Gaska melirik jam dinding. "Udah jam satu pagi." Ia berdiri dan mengusap lehernya yang pegal. "Ayo, gue anter lo pulang."
Tapi Zea tidak bergerak. Ia hanya duduk menyamping di sofa, kepalanya bertopang dengan tangan kiri, dengan pandangan menatap ke arah meja dapur yang sudah sepi.
Gaska memiringkan kepala. "Zea?"
Gadis itu tetap diam.
Gaska akhirnya duduk lagi, mencondongkan tubuh sedikit, mencoba membaca ekspresi Zea yang tampak ... kosong, tapi tenang.
Beberapa detik hening, sampai Zea tiba-tiba bertanya, pelan, datar tapi cukup terdengar jelas. "Minus lo separah itu, ya? Sampai lo kayak gak bisa lepas dari kacamata?"
Lelaki itu tampak sedikit bingung dengan arah pertanyaan itu. Tapi ia menjawab juga. "Nggak parah, cuma rabun jauh. Tapi ya ... cukup bikin gue terbiasa ngeliat dunia dari balik kaca."
Zea tidak menjawab. Tapi ia menoleh ke arahnya, matanya mengerjap pelan. Tangannya perlahan terulur, menarik lepas kacamata dari wajah Gaska.
Gaska diam. Samar-samar, ia bisa melihat Zea yang semakin mendekat. Dan ketika bibir gadis itu menyentuh bibirnya, ia hanya menutup mata, membiarkan ciuman itu menetap dengan lembut, dalam diam yang lama dan janggal sekaligus.
Tbc
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)