"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!"
"Fact one: you're annoying. Fact two: that's it."
.
S...
Di tengah tangisnya, ia memukul dada Gaska. Tidak keras, tapi penuh amarah yang tertahan. "Kenapa ... lo selalu muncul pas gue lemah?"
Satu pukulan lagi.
"Kenapa lo harus liat sisi gue yang kayak gini?"
Dan yang paling sulit diucapkan.
"Kenapa lo harus punya wajah mirip kayak Raka?"
Suaranya parau, di seret oleh isak dan rasa malu yang diam-diam menyusup. Tapi Gaska tak menjauh. Ia hanya memeluk Zea lebih erat, membiarkan gadis itu mencurahkan semuanya.
Pelukannya hangat, tidak menghakimi. Tenang, tanpa memaksa.
Di dalam pelukan itu, Zea membiarkan dirinya merasa. Tanpa bertanya lagi apakah ia pantas atau tidak.
.
Malam mulai larut saat Gaska menarik lengan Zea keluar dari rumahnya. Tanpa penjelasan, tanpa tanya. Hanya satu genggaman tangan dan hoodie abu-abu yang menutupi separuh wajah Zea, menyamarkan wajah polosnya yang belum tersentuh makeup.
Minimarket itu hanya berjarak dua blok. Lampunya terang, tapi tak ramai. Gaska masuk lebih dulu, masih menggenggam tangan Zea yang lunglai mengikuti di belakang.
Begitu berada di dalam, Gaska langsung melangkah ke kulkas berisi es krim dan berhenti di depan pintunya. Ia membuka pintu kaca, membiarkan uap dingin menyapu wajah mereka berdua.
"Nih," katanya, mengambil satu es krim rasa stroberi. "Manis. Lo kan butuh yang manis."
Zea menggeleng malas. "Enggak suka stroberi. Enak di nama doang."
"Rasa taro?"
"Bikin enek."
"Coklat?"
"Bosan."
Gaska menoleh, menatap Zea datar. "Lo tuh mau es krim atau mau nyari gara-gara?"
"Gue jawab jujur, salah gue?" Zea memutar bola matanya, nyaris kehilangan kesabaran.
Gaska menyeringai. "Yang ini, deh. Rasa durian."
Zea menatapnya seolah lelaki itu baru saja berkata hal paling menjijikkan di dunia. "Lo bercanda?"
"Nggak. Lo suka yang aneh-aneh, gue pikir cocok."
Zea mendelik tajam. "Lo kenapa sih? Rese banget!"
Tapi Gaska hanya terkekeh menyebalkan, dan itu membuat Zea yang sudah berada di ujung kemuakan akhirnya lelah sendiri.
Akhirnya Zea menunjuk satu es krim rasa vanilla almond. "Itu."
"Bosenin amat vanilla." Gaska mengambilnya dan membuka bungkusnya. Tapi saat ia sodorkan, Zea menepis pelan.
"Nggak sekarang. Mau gue makan nanti aja."
"Lo pikir kita pulangnya bentar lagi?" Gaska mengangkat sebelah alis. "Mau cair? Nggak usah gaya, buka mulut."
Zea mendengus. Tapi mulutnya terbuka juga, dan sendok plastik itu mendarat dengan es krim dingin yang manis. Ia mengunyahnya sambil berjalan, masih menggenggam tangan Gaska.
Mereka berbelok ke rak bahan makanan. Gaska mengambil satu kotak tepung terigu, lalu beberapa cokelat batang.
"Ulang tahun Elio tinggal beberapa jam lagi. Gue nggak sempet beli kado, jadi bikin kue aja."
Zea langsung berdiri tegak. "Serius mau bikin sendiri?"
"Yoi, bareng lo."
Gaska sebenarnya hanya ingin Zea keluar rumah, menjauh sebentar dari pikiran yang membebaninya. Ia tahu Zea sedang tidak baik-baik saja, tapi juga tahu gadis itu tak suka dikasihani. Jadi, ia memilih alasan yang masuk akal, berbelanja untuk ulang tahun Elio. Alasan sederhana, tapi cukup untuk membuat Zea ikut tanpa banyak tanya.
"Lo yakin? Gue aja cuma bisa masak mie instan."
"Berarti kita sama, cocok."
Zea diam sejenak, matanya berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya ia menahan senyum. "Terus bahannya mau apa?"
"Mungkin ... susu, coklat, telur ... gula?"
Gadis itu mengambil alih. "Nggak perlu susu kental, mending heavy cream. Dan itu baking powder, bukan soda kue doang."
"Gue bisa liat lo jadi guru TK."
"Ngatain lagi?"
"Ngasih fakta."
Zea sibuk memilah bahan, sementara Gaska diam-diam mengangkat ponselnya dan memotret wajah gadis itu yang sedang serius menatap label bahan.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Zea sadar. "Eh, apaan sih lo!"
"Lumayan, buat nakut-nakutin Elio kalo lagi nggak bisa di bilangin."
Zea mengeram, ia baru saja ingin membuka mulut untuk membalas. Es krimnya sudah habis, Gaska melihat tangan gadis itu belepotan dan tanpa tanya, ia berbalik, kembali dengan sebotol air dan satu bungkus tisu.
Tanpa berkata apa-apa, Gaska menyodorkan botol air itu lalu mengelap tangan Zea dengan teliti.
Zea menatapnya. "Gue bisa sendiri."
"Fokus aja mikirin bahan apa lagi yang harus di beli."
Zea kembali diam, menatap Gaska yang dengan mudah merapikan sisa es krim di jemarinya. Wajahnya fokus, tapi entah kenapa, demagenya bertambah berkali-kali lipat.
Gadis itu langsung mengulum bibir, semakin menenggelamkan wajahnya dibalik kerah hoodie untuk menutupi senyum tak tertahan.
"Lo ngelihatin apaan sih?" suara Gaska terdengar tenang, tapi menyisakan nada menggoda yang samar. Bukan basa-basi, tapi jelas ia sadar.
Zea memalingkan wajah cepat-cepat. "Nggak ngelihatin apa-apa," balasnya singkat, nadanya datar tapi terlalu cepat untuk bisa terdengar meyakinkan.