Gaska mengangguk pelan. "Hati-hati di jalan."

Senyum Hana tipis, ia berbalik untuk pergi, tapi Rania menghentikannya.

"Sebentar," ia membuka tas tangan, mengeluarkan sebuah amplop putih dengan aksen emas. "Ini undangan pernikahan saya. Saya harap kalian bisa datang." Rania menyerahkannya pada Nima, lalu matanya beralih pada Gaska. "Kamu juga, ya. Jangan sungkan."

Gaska menerima amplop itu. Di bagian depan tertulis nama calon mempelai. Matanya terpaku pada satu nama:

Armand Wijaya.

Itu nama yang tak asing. Ia tahu ... itu ayahnya Zea.

Gaska menunduk, pikirannya mulai penuh. Satu demi satu kepingan puzzle berjatuhan, tapi belum juga membentuk gambar utuh.

Mobil pun melaju pergi, membawa Hana dan ibunya menjauh dari rumah itu.

Gaska hanya berdiri di depan pagar beberapa saat, menatap kosong ke jalan yang mulai gelap. Tanpa pikir panjang, ia kembali masuk, mengambil jaket dan kunci motornya. Tak bilang apa-apa pada siapa pun. Lelaki itu hanya tahu satu hal, ia harus bicara dengan Zea.

Rumah Zea tampak sepi seperti biasa. Ia mengetuk pintu dengan ragu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.

Zea muncul di ambang pintu. Rambutnya masih basah, wajahnya tanpa makeup, ia terlihat lelah.

"Lo ... nggak apa-apa?" tanya Gaska pelan.

Zea menatapnya beberapa detik, lalu tiba-tiba menarik napas cepat.

Dan menangis.

Begitu saja, tangisnya pecah, tubuhnya goyah. Ia tak berkata apa-apa. Gaska hanya bisa berdiri diam saat Zea jatuh dalam pelukannya, air mata membasahi dadanya.

.

Zea tak bisa berbohong, meskipun ia bukan Zea yang asli, meskipun mereka bukan orangtua kandungnya yang nyata, ini tetap membawa rasa sakit padanya. Ia telentang di atas tempat tidur dengan pandangan kosong, mengulang satu kalimat dalam kepalanya: Armand menikahi ibu kandung Hana. 

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi menghancurkan.

Kenyataan itu menjelaskan semuanya. Zea, atau Seyren dalam tubuh Zea, akhirnya mengerti bahwa tokoh ini tidak pernah jahat sejak awal, ia hanya anak yang dihancurkan oleh keadaan.

Zea menggenggam seprai, menahan napas yang terasa berat di dada.

Menangis? Haruskah ia mulai dari sana? 
Tapi itu terdengar bodoh. Mereka hanya karakter fiksi, pikirnya. Nama-nama dalam dunia buatan. Tapi tetap saja, rasanya sesak, seolah ada sesuatu yang berat menghimpit dadanya, tak memberi ruang untuk bernapas.

Bel rumah berbunyi, nyaring, mengusik.
Zea menoleh malas, lalu turun ke bawah dengan langkah enggan.

Di balik pintu, Gaska berdiri. Membawa hawa dingin malam yang menyeruak masuk begitu pintu dibuka. Rambutnya sedikit berantakan, matanya tampak ragu.

"Lo ... nggak apa-apa?"

Pertanyaan itu terdengar ringan, sialnya, lelaki itu berhasil menyentil bagian sensitif perasaan Zea.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now