Keheningan sejenak mengisi ruangan sebelum Zea akhirnya menyadari sesuatu. "Tunggu ...." Ia menatap Gaska penuh kecurigaan. "Lo kenapa ada di sini?"
Gaska melipat tangannya, bersandar ke kursi dengan ekspresi malas. "Dira yang nyuruh gue jagain lo."
Zea mengerjapkan mata, otaknya masih sedikit lambat memproses. "Dira udah pulang?"
Gaska mengangguk. "Dia ada urusan di kost. Tapi sebelum pergi, dia sempat nitip pesan."
Zea mengernyit. "Pesan apa?"
Lelaki itu tiba-tiba menatapnya serius. "Katanya kalau lo rewel, gue boleh jitak."
"Dia nggak mungkin bilang gitu!" Zea langsung memasang wajah horor.
"Mau tanya sendiri?"
Zea merengut, lalu menarik selimutnya sampai menutupi setengah wajah. "Pengkhianat."
Tapi sebelum ia bisa merajuk lebih jauh, perutnya tiba-tiba berbunyi keras.
Keheningan.
Gaska menatapnya, lalu sudut bibirnya tertarik ke atas. "Laper, ya?"
Wajah Zea langsung merah padam. "B-bukan!"
"Ya ya, bukan," Gaska mengangguk sok percaya. "Tapi kebetulan, gue udah bikinin bubur buat lo."
Zea kembali terkejut. "Lo bisa masak?"
"Nggak bisa."
"Terus-"
"Makanya gue bikinin bubur instan." Gaska beranjak, mengambil mangkuk bubur dari meja dan kembali duduk di samping Zea. Ia meniup sendok berisi bubur itu, lalu mengulurkannya ke Zea. "Nih, buka mulut."
Zea memandang sendok itu, lalu menatap Gaska. "Serius?"
"Lo pikir gue main-main?"
Zea menggembungkan pipinya, menatap bubur itu dengan curiga. "Lo taruh sesuatu di dalamnya, nggak?"
Gaska menatapnya datar. "Zea, gue cuma bikin bubur, bukan sihir hitam."
Zea masih menimbang-nimbang, tapi perutnya yang kembali berbunyi membuatnya menyerah. Dengan cemberut, ia akhirnya membuka mulut dan menerima suapan dari Gaska.
Gaska tersenyum kecil. "Gitu dong."
Zea mengunyah pelan, lalu menatapnya. "Gue bisa makan sendiri, tahu."
"Tapi lo nggak nolak gue suapin barusan," balas Gaska santai.
Zea semakin mengulum bibirnya menahan malu. "Rese!"
Gaska hanya tertawa kecil, lalu kembali meniup sendok berikutnya.
Sejenak gadis itu memperhatikan Gaska yang fokus mengaduk bubur di mangkuk, seakan sedang melakukan hal terpenting di dunia. Biasanya, lelaki itu selalu terlihat tenang dan malas, tapi sekarang? Ada ekspresi serius di wajahnya, seperti benar-benar ingin memastikan Zea makan dengan baik.
Tanpa sadar, Zea tersenyum kecil.
"Apa?" Gaska tiba-tiba menatapnya, membuat Zea tersentak dan langsung memasang wajah datar.
"Apa?" Zea pura-pura bingung.
"Lo senyum barusan."
"Nggak."
"Lo senyum."
"Nggak!"
Gaska mempersempit matanya, lalu menyodorkan sendok bubur ke wajah Zea lagi. "Ya udah, buka mulut."
Zea mendengus kecil, tapi tetap menerima suapan itu. Saat bubur masuk ke mulutnya, ia mengerutkan kening.
"Ini ...." Zea mengunyah pelan. "Kenapa rasanya beda?"
Gaska mengangkat bahu. "Gue tambahin kecap dikit, biar nggak hambar."
Zea terdiam, menatap buburnya, lalu menatap Gaska lagi. "Itu lo tambahin sesuatu di makanan gue!"
Gaska mendengus. "Baru juga kecap."
"Tapi-"
"Bukan racun, Zea."
Zea menggigit bibir, lalu mengalihkan pandangan. "Lagi," ujarnya lagi, nyaris seperti gumaman pelan.
Gaska mengangkat alis. "Apanya?"
"Buburnya."
"Apa?"
"BUBURNYA!"
Gaska tertawa, lalu kembali menyuapinya. Dan Zea, meskipun masih pura-pura malas, tetap mengunyah dengan nikmat.
Tbc
Sumpah ini chap kayaknya kepanjangan deh.
Puas-puasin deh, berkah lebaran.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)