Gadis itu mendengus kesal. Di tubuhnya yang asli, Seyren bukanlah orang yang mudah sakit. Sebagai mahasiswa, ia terbiasa begadang hampir setiap akhir pekan untuk mengerjakan busana-busana tugas kampus atau sekadar membantu Mami di butik. Namun, di tubuh Zea yang masih bocah SMA ini, jelas tubuhnya mengalami keterkejutan setelah dipaksa begadang semalaman untuk menjahit sana sini. Hasilnya, Zea tumbang dan demam.

Ada rasa sedih yang perlahan menguasai dirinya. Jika sedang sakit begini, di dunianya yang asli, Mami pasti akan jadi orang pertama yang paling rewel merawatnya. Mami tak akan membiarkannya bergerak sedikit pun sebelum benar-benar sembuh. Tapi di tubuh Zea? Seyren tak punya orang tua sehangat itu. Orang tua Zea terlalu kaku, terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Rumah besar ini hanya memberi kesunyian yang semakin menekan.

Zea bergerak sedikit di tempat tidurnya, lalu tanpa sadar berbisik. "Mami ...."

Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, hidungnya terasa penuh, menyumbat napasnya. Ia mengerang pelan, tapi seketika itu juga, seseorang dengan sigap menempelkan tisu ke hidungnya, mengelapnya dengan lembut.

Zea terkejut.

Begitu pula saat rasa mual mendadak menyerang, orang itu segera menyodorkan baskom dan memijat tengkuknya dengan perlahan. Sentuhan itu terasa asing namun penuh perhatian, membuatnya merasa lebih nyaman.

Setelah akhirnya meneguk air putih yang diulurkan ke tangannya, Zea mulai merasa sedikit lebih baik. Ia mengangkat wajahnya, siap mengucapkan terima kasih pada Dira-namun, yang ia lihat bukan Dira.

Itu Gaska.

Zea membeku. Dadanya tiba-tiba sesak, matanya membelalak, lalu tanpa bisa dikendalikan, air matanya jatuh begitu saja. Sesuatu dalam dirinya mendadak kacau, seperti ada realita yang terbelah di antara dua dunia. Ia tahu ini Gaska. Ia tahu ini dunia tempatnya sekarang. Tapi, Seyren lelah harus berjuang di dunia ini.

Di sudut pikirannya, dalam keadaan setengah sadar dan masih terbawa perasaan rindu yang dalam, melihat Gaska dalam situasi seperti ini membuatnya seakan kembali ke dunia nyata.

Seakan-akan ... ini adalah Raka.

Zea terisak, menyebut satu nama yang membuat hatinya semakin nyeri. "Raka ...."

Gaska yang sedari tadi diam, kini menegang. Ia menatap Zea dengan ekspresi tak terbaca, namun tak berkata apa-apa. Hanya menunggu.

Sementara Zea, di tengah tubuh yang masih lemah, hanya bisa menangis. Ia sendiri tak tahu, apakah ini kesedihan karena demam yang memperburuk emosinya ... atau karena kenyataan pahit bahwa ia tetap tak bisa kembali ke dunia yang ia rindukan.

Gaska terdiam beberapa saat, menatap Zea yang masih terisak pelan. Bahunya bergetar di balik selimut, napasnya tersendat, dan wajahnya terlihat kacau. Ia memanggil nama seseorang, tapi jelas itu bukan namanya.

Alih-alih tersinggung, Gaska hanya menghela napas. Ia meraih tisu di meja samping dan tanpa ragu menempelkan tisu itu ke hidung Zea.

"Sini, gue lapin," katanya santai.

"Eh?" Zea tersentak, langsung mendongak dengan mata membelalak. "Lo ngapain sih?!"

"Lap ingus lo." Gaska mengangkat alis, tetap menekan tisu di hidung Zea dengan ekspresi serius. "Udah, tiup yang kenceng, cepetan."

Pipi Zea langsung memanas. Ia menjauhkan wajahnya dengan gerakan kikuk. "Gue bisa sendiri!" ia memprotes, merebut tisu dari tangan Gaska dengan kasar.

Gaska mendengus kecil, tapi membiarkannya. "Ya udah, buru. Hidung lo udah kayak kran bocor."

Zea menatapnya tajam, tapi akhirnya meniup hidungnya dengan kesal. Setelah itu, ia membuang tisu bekasnya dan menghela napas berat.

Breaking The Script [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora