"Lo cepet banget," gumamnya, suaranya hampir seperti bisikan.

Dira melirik ke dalam rumah, kosong seperti yang ia duga. Zea sendirian. "Masuk dulu, gue bawa sesuatu," ujar Dira sebelum melangkah ke dalam.

Begitu Zea menutup pintu, Dira langsung berjalan ke ruang tamu dan meletakkan kantung belanjaannya di atas meja. Rumah ini besar, tapi sunyi. Dira sendiri tinggal di kost, tapi setidaknya ia masih punya tetangga yang bisa diajak ngobrol. Zea? Gadis itu benar-benar sendiri di rumah sebesar ini.

Dira menoleh ke Zea yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya sedikit goyah. "Lo demam parah," katanya sambil mendekat. Ia menyentuh dahi Zea tanpa menunggu izin, merasakan panas yang menjalar di telapak tangannya.

Zea mengerang pelan. "Gue baik-baik aja ...."

"Boong banget," potong Dira, mendesah. Ia menarik Zea ke sofa dengan paksa, mendorong gadis itu agar duduk. "Tunggu sini."

Dira membuka kantung belanjaannya, mengeluarkan botol air mineral, obat penurun panas, dan sekotak bubur instan. Ia segera menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya ke Zea.

"Minum dulu, terus gue bikinin bubur," katanya tegas.

Zea menatapnya sebentar, lalu menerima gelas itu tanpa banyak bicara. Dira bisa melihat bagaimana tangan Zea sedikit gemetar saat memegangnya.

"Lo nggak keringetan sama sekali," gumam Dira sambil mengamati Zea lebih dekat. "Tapi panas lo tinggi banget. Gue ambilin kompres dulu."

Tanpa menunggu jawaban, Dira bangkit, bergerak seakan sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ia baru sadar betapa lemahnya Zea saat ini. Biasanya, gadis itu selalu terlihat penuh energi, atau setidaknya, tidak selemah ini.

Dira mendesah pelan. "Gue nggak nyangka bakal babysitting lo hari ini."

Zea hanya mendengus kecil, lalu menutup matanya sambil menyandarkan kepala ke sofa.

Dira duduk di sampingnya, mengamati Zea lebih lama. Pipi Zea masih memerah karena demam, tapi bibirnya pucat, dan ada bekas keringat di pelipisnya. Dira ingat betul bagaimana Zea sering berkata kalau ia benci sakit, bukan karena takut, tapi karena merasa tidak berguna saat harus diam saja di rumah.

"Lo pasti sebel banget sekarang, kan?" tanya Dira akhirnya.

Zea mengangkat kelopak matanya sedikit, menatap Dira dengan ekspresi malas. "Sebel banget," gumam gadis itu, suaranya masih serak. "Gue nggak suka diem doang."

Dira tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangan untuk menempelkan kompres dingin ke dahi Zea. "Ya udah, diem aja dulu. Kali ini, gue yang berisik buat lo."

Zea menatapnya sebentar sebelum akhirnya menghela napas pelan dan menutup mata lagi. Dira tetap duduk di sana, memperhatikan gadis itu dengan diam-diam.

Zea yang seperti ini ... membuat Dira merasa sedikit kasihan. Bukan hanya karena sakitnya, tapi karena ia benar-benar sendirian di rumah sebesar ini. Selama ini, Dira selalu melihat Zea sebagai seseorang yang kuat dan mandiri, tapi di saat seperti ini, ia sadar kalau bahkan seseorang seperti Zea pun butuh seseorang di sisinya.

Dira menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu melirik ke arah kantung belanjaan. "Gue nyariin makan dulu, jangan kemana-mana," ujarnya sambil bangkit.

Zea hanya mengangkat tangan lemah, seolah berkata, lo lihat sendiri, gue bisa ke mana?

.

Zea terbangun perlahan, kepalanya masih berat dan tubuhnya terasa lemas. Ruangan sepi, hanya suara televisi yang menyala di depan. Matanya yang masih sayu menatap langit-langit, lalu mengerjap beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadaran.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now