Ray mendengus kecil. "Dan lo terharu?"
Hana menoleh, menatap Ray dengan mata berbinar. "Ya iyalah. Kamu nggak?"
Ray menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Gue lebih mikirin kenapa dia segitu maksain diri. Kayak, dia tuh nggak perlu seserius itu, tapi tetap aja ngelakuin."
Hana tersenyum kecil, tangannya terulur meraih tangan Ray. "Mungkin itu yang bikin dia beda, ya?"
Ray hanya diam, tapi tidak menarik tangannya dari genggaman Hana. Dia membuang pandangannya ke arah patung, lalu kembali menatap Hana. "Lo beneran nggak bakal bangunin dia?"
Hana menggeleng. "Aku tahu rasanya capek banget, terus ada orang yang maksa bangun. Aku nggak mau dia ngerasain itu. Dan ... aku juga ngerasa bersalah. Kalau aku lebih hati-hati, dia nggak harus kerja seberat ini."
Ray menatapnya lebih lama kali ini. "Kadang lo terlalu baik, tahu nggak?"
Hana hanya terkekeh pelan. "Makanya kamu tetap sama aku, kan?"
Ray mendesah, tapi sudut bibirnya sedikit tertarik. "Terserah lo aja."
.
Zea mengerjapkan mata perlahan. Kelopak matanya terasa berat, masih ingin terus terpejam. Namun, tubuhnya menolak untuk tetap diam. Nyeri menjalar di leher dan punggung, akibat posisi tidur yang tidak nyaman. Ia mengusap wajah yang masih terasa panas, lalu melirik jam dinding.
Pukul lima sore. Tidur panjang justru membuat tubuh gadis itu terasa semakin tersiksa.
Kesadarannya mulai pulih. Pandangannya beralih ke sekitar ruangan. Foto-foto Hana terpajang di dinding dan meja kecil. Zea menarik napas, turun dari tempat tidur, lalu mencari ponsel. Namun, sebelum menemukannya, perhatian tertuju pada buku bersampul biru muda di dekatnya.
Zea ragu, bukan kebiasaannya menyentuh barang orang lain tanpa izin. Namun, saat hendak mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh, jarinya tanpa sengaja menyenggol buku itu hingga terjatuh.
Gadis itu menunduk. Halaman pertama yang terbuka memperlihatkan tulisan tangan yang rapih mengukir namanya.
Rasa penasaran mendorongnya untuk membaca.
Zea menatap halaman-halaman di tangannya, alisnya perlahan berkerut. Ia awalnya mengira ini hanya buku harian biasa, tetapi di setiap lembarnya hanya ada satu paragraf, bahkan ada juga yang sebaris kalimat.
Semakin ia membaca, semakin merinding rasanya.
15 Januari
Hari ini Zea kelihatan lelah, tapi tetap tersenyum. Aku ingin bertanya kenapa, tapi takut mengganggu. Dia selalu terlihat kuat.
Zea mengerutkan kening.
27 Februari
Aku baru sadar, Zea selalu mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian. Aku ingin bisa seperti itu juga.
3 April
Hari ini, Zea membelaku. Dia ngelindungin aku dari Gisel, untuk pertama kalinya dia megang tangan aku, membantuku berdiri.
Zea mulai merasa ada yang tidak beres. Itu hanya kejadian kecil, tapi cara Hana menulisnya ... seperti sesuatu yang begitu berarti.
4 April
Zea akhirnya berhenti berteman dengan Gisel!
Tulisan di halaman ini terlihat lebih miring, seperti di tulis dengan penuh semangat dan terburu-buru. Zea mulai merasa risih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breaking The Script [END]
Fiksi Remaja"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
11.
Mulai dari awal
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)