Di sofa, Hana dan Dira tertidur dengan kepala saling menyender satu sama lain. Napas mereka teratur, wajah mereka terlihat kelelahan.

Gaska mengangkat alis sebelum akhirnya melangkah mendekati Zea.

"Ray ke mana?" tanya lelaki itu pelan.

Zea tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas, menggigit pentul di bibirnya, lalu mencabutnya dengan santai sebelum menjawab dengan nada ketus. "Mana gue tahu, mati mungkin."

Gaska hanya mengangguk kecil, tidak berniat memancing emosi Zea yang tampaknya masih bergejolak. Ia mengalihkan pandangan ke kain-kain yang berserakan di sekeliling mereka, lalu kembali menatap Zea yang masih sibuk bekerja.

Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa pun lagi, Zea tiba-tiba menatapnya lurus-lurus. Tatapan itu tajam, seakan menuntut kepatuhan.

"Ambilin kain di sebelah lo," perintah Zea, dingin dan tegas.

Gaska mengangkat alis. "Hah?"

Zea menatapnya seolah Gaska adalah orang paling lamban di dunia. "Gue bilang, ambilin kain di sebelah lo. Sekarang."

Gaska mendengus, tetapi tetap mengikuti perintah Zea. Tanpa sadar, dalam beberapa menit berikutnya, ia sudah terjebak membantu gadis itu menyelesaikan sisa kain lainnya.

Namun, ada satu masalah.

"Lo nggak bisa jahit, kan?" Zea mendelik setelah melihat hasil kerja Gaska yang berantakan.

Gaska menatap hasil jahitannya sendiri dan mendecak pelan. "Ya ... bisa dikit?"

Zea hampir tertawa, hampir. Tapi, alih-alih meledek, ia justru menghela napas panjang dan meraih tangan Gaska.

"Udah, sini. Gue ajarin."

Gaska terdiam sesaat ketika tangan Zea menyentuh tangannya, membimbing jemarinya untuk memegang jarum dengan benar. Gadis itu menjelaskan dengan detail, sesekali memperbaiki posisi tangannya, bahkan menyesuaikan tekanan pada benang agar jahitan tidak terlalu kendor atau terlalu kencang.

"Tangan lo kaku banget," komentar Zea sambil menggeleng pelan.

Gaska tersenyum kecil. "Maklum, ini bukan bidang gue."

"Tapi lo belajar cepat," kata Zea tanpa sadar.

Gaska menoleh ke arahnya dengan senyum iseng. "Itu pujian?"

Zea menatapnya malas. "Jangan ge-er, gue cuma nggak mau kerja dua kali karena lo bikin jahitannya makin hancur."

Gaska terkekeh. "Santai, gue bakal jadi murid teladan lo malam ini."

Mereka terus bekerja dalam diam, tetapi suasana tidak lagi seintens tadi. Sesekali Gaska bercanda, membuat Zea mendengus atau memutar bola matanya. Namun, di antara canda kecil itu, pembicaraan mereka berbelok ke arah yang lebih serius.

Tanpa sadar, Zea mulai berbicara tentang Hana.

"Gue nggak ngerti sama dia," keluh Zea, tangannya tetap sibuk menjahit. "Polosnya itu nyerempet ke bego. Lo tahu nggak, seberapa besar kesalahan yang dia bikin sampai akhirnya kita harus mulai semuanya dari awal?"

Gaska diam, hanya mendengarkan.

"Gue udah cape, Gas," lanjut Zea, nadanya semakin frustrasi. "Gue capek banget harus benerin kesalahannya. Gue nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kenapa dia nggak bisa sedikit lebih ... ngerti? Lebih peka?"

Gaska tetap tidak menyela, membiarkan Zea mengeluarkan semua unek-uneknya.

Sampai akhirnya Zea berhenti berbicara.

Ia menoleh ke Gaska, dan baru menyadari sesuatu. Sejak tadi, lelaki itu hanya diam, tidak memberikan komentar atau tanggapan apa pun.

Gaska hanya menatapnya dengan ekspresi netral, tidak menghakimi, tidak membela siapa pun.

Untuk pertama kalinya, Zea merasa heran.

"Lo nggak bakal bilang gue nyebelin karena ngomongin dia kayak gini?" tanya Zea, setengah ingin tahu, setengah menantang.

Gaska mengangkat bahu. "Kenapa gue harus ngehakimin lo?"

Zea terdiam.

"Lo marah, lo kesel, dan lo punya alasan buat itu," lanjut Gaska santai. "Kadang lo cuma butuh tempat buat ngomong, kan?"

Zea tidak langsung menjawab. Ia menatap Gaska lama, lalu membuang napas pelan.

Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa sedikit lebih ringan.

Sangking ringannya, Zea langsung terduduk diatas karpet dengan punggung menyandar ke sofa. Sedikit membelakangi Gaska, kemudian, menepuk-nepuk bahunya sendiri.

Gaska mengangkat sebelah alis, apa gadis ini baru saja meminta di pijat?

"Gaska, lo masih bangun, kan?"

Pada akhirnya, lelaki itu tak bisa menolak, ia bergeser untuk lebih dekat pada Zea, menaruh kedua tangannya ke bahu gadis itu untuk memulai pijatan.

"Jangan nyesel." jemari Gaska menekan otot-otot yang terasa tegang.

Zea langsung menghembuskan napas panjang, matanya setengah terpejam. "Sumpah, enak banget ...." gumamnya dengan suara malas. Lehernya yang semula terasa kaku langsung lebih baikan.

Tapi begitu Gaska turun ke otot punggungnya, menekan titik-titik yang lebih dalam, Zea langsung kaget. "Eh, eh, stop! Jangan di situ! Ihihihihi ...!"

Ia mulai menggeliat, setengah tertawa sambil berusaha menghindar. "Gaska, please! Gue nggak kuat!"

"Santai, ini bagus buat lo," balas Gaska, masih dengan nada kalem, malah makin menekan bagian yang sama.

"Nggak! Serius, ini torture! Ihihi ... HAHAHAHA ...!" Zea ngakak sampai hampir jatuh ke samping, tangannya mencengkeram sofa untuk bertahan.

"Lo tuh tegang banget, makanya gue bantu," kata Gaska sok bijak, tetap tidak berhenti.

Zea sudah megap-megap, punggungnya bergeser ke samping, lalu akhirnya menjatuhkan dirinya ke karpet. "Gaskaaa ... udah please! Gue bakal bayar lo buat stop!"

Pas sekali di saat itu, Ray muncul di pintu dengan beberapa kantung makanan di tangannya. Ia diam sebentar, mengamati pemandangan di depannya.

Zea yang menggeliat, meliuk-liukan tubuhnya untuk menghindari setiap sentuhan Gaska, namun kalah pada lelaki itu yang sudah lebih dulu mengunci bahu Zea menggunakan tangan kiri.

Tbc

Jangan lupa vote, untuk membantu perkembangan cerita ini.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now