Dengan tangan yang sedikit ragu, Hana menyodorkan gunting ke Zea. "Ini."
Dira yang entah dimana, sekarang justru terasa seperti penyelamat bagi Hana. Kalau Dira ada di sini, Zea pasti tidak akan mengambil gunting dari tangan Hana. Tapi sekarang, pilihannya hanya menerima atau membiarkan pekerjaannya terhenti.
Zea melirik sekilas ke arah Ray, yang masih menatapnya penuh kebencian. Tatapan mereka bertemu, saling melempar sinis. Lalu, dengan gerakan kasar, Zea mengambil gunting dari tangan Hana.
Hana terlihat sedikit terkejut, tetapi ia tetap mengikuti irama kerja Zea. Awalnya, gerakannya canggung, tetapi lama-lama ia mulai bisa menyesuaikan diri. Meskipun Zea tidak banyak bicara, Hana bisa membaca kebutuhannya melalui gerakan tangan dan ekspresi wajahnya.
Sementara itu, di dapur, Dira berdiri dengan ekspresi jengkel. "Lepasin tangan gue, Gaska!"
Gaska tak mengeluarkan ekspresi, masih menahan pergelangan tangan Dira agar tidak pergi. "Santai aja. Mereka bisa ngerjain sendiri."
Dira mendesah, mencoba melepaskan tangannya. "Lo sengaja, ya?"
Gaska mengangkat bahu, ekspresinya tetap santai.
Dira hanya bisa melirik ke ruang tengah. Seulas senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat Hana dan Zea mulai bekerja sama lagi, meskipun masih terasa canggung.
.
Pukul satu pagi.
Gaska menutup buku catatannya dengan satu tangan, sementara tangan satunya lagi mengusap wajahnya yang mulai terasa penat. Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi, dan ia baru saja menyelesaikan rangkuman untuk UTS nanti. Namun, saat hendak beranjak dari kursi, pikirannya kembali ke pembicaraan tadi sore, tentang Elio yang disebut-sebut sebagai pelaku di balik rusaknya busana Zea.
Ia mengernyit. Ada sesuatu yang tidak masuk akal.
Seorang bocah berusia tiga tahun seperti Elio? Merusak hampir seluruh kain yang terpajang di patung tinggi itu? Tidak mungkin.
Gaska mulai menganalisis. Pertama, tinggi patung hampir dua meter, Elio jelas tidak akan bisa meraih bagian atasnya tanpa bantuan.
Kedua, kerusakan yang terjadi bukan sekadar sobekan kecil atau noda kotoran khas anak kecil. Beberapa kain bahkan tampak seperti sengaja digunting dan disayat dengan rapi, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh tangan bocah tiga tahun.
Ketiga, tidak ada jejak tangan Elio di sekitar area itu. Jika memang ia pelakunya, seharusnya ada bekas tangan di atas kain atau paling tidak mainan yang tertinggal.
Pikirannya terus berputar hingga rasa haus menyergapnya. Gaska akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar, turun ke lantai bawah untuk mengambil minum.
Namun, baru saja menginjak anak tangga terakhir, suara mesin jahit yang berdengung di tengah keheningan rumah langsung menarik perhatiannya. Suara itu terdengar kontras di antara kesunyian, seolah menegaskan bahwa masih ada seseorang yang terjaga.
Gaska berjalan menuju ruang tengah, dan sedikit terkejut dengan pemandangan di depan.
Di bawah cahaya lampu yang agak temaram, Zea masih fokus menjahit. Pentul terselip di antara bibir gadis itu, matanya tidak lepas dari jahitan yang sedang ia rapikan. Gerakannya cekatan, tidak sekalipun melambat meskipun jelas bahwa ia sudah bekerja selama berjam-jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
10.
Mulai dari awal
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)