Begitu ia melangkah masuk, suasana ruang tengah langsung membuatnya terhenti.

Ada sesuatu yang berbeda.

Hana duduk bersila di karpet dengan mata sembab, sisa-sisa tangis masih terlihat di wajahnya. Di sebelahnya, Ray menepuk pelan punggung gadis itu, berusaha menenangkan.

Dira berdiri, tampak bingung dan takut melihat kedatangannya.

Tapi yang paling mengejutkan Zea adalah sesuatu di tengah ruangan.

Busana yang telah mereka kerjakan berhari-hari.

Hancur.

Sobekan besar terlihat di beberapa bagian, tak hanya kusut, tapi benar-benar rusak. Guntingan lebar menghiasi kain yang seharusnya menjadi bagian paling menonjol dari desain mereka.

Darah Zea langsung berdesir. Napasnya terasa berat.

"Apa-apaan ini?" suaranya rendah, nyaris bergetar.

Hana menelan ludah, suaranya lirih saat akhirnya menjawab, "Aku ... aku lengah. Elio ... dia-"

"Apa?" Zea mencelos, menatapnya tak percaya. "Lo bilang ini gara-gara Elio?"

Hana mengangguk kecil, jelas merasa bersalah. "Aku cuma pergi ke dapur sebentar. Aku pikir dia masih main di pojok ruangan, aku nggak tahu kalau dia-"

Zea tertawa sinis, tapi lebih terdengar seperti orang yang nyaris putus asa. "Jadi, lo nyalahin anak kecil sekarang?"

"Bukan gitu, aku-"

"Bukan gitu apanya?" Zea mendekat, nada suaranya naik. "Kita udah kerja rodi buat ini! Lo tahu seberapa susahnya ngerjain ini semua! Kenapa lo ngebiarin Elio sendirian Hana ... otak lo dimana?!"

Ray langsung berdiri, tubuhnya menegang. "Hana udah minta maaf! Kenapa lo malah nyalahin dia?"

"Karena ini salah dia!" Zea hampir berteriak. "Ini salah dia karena nggak bisa jagain bocil dengan bener!"

"Jaga mulut lo, Zea," suara Ray terdengar tajam.

Zea mendengus, tidak sedikit pun berniat mundur. "Apa? Lo mau bela dia habis-habisan? Silakan, tapi ini proyek kita semua. Kalau lo pikir gue bakal diem aja setelah semuanya hancur, lo salah besar."

"Lo nggak perlu lebay kayak gini!" Ray balas membentak, wajahnya merah padam.

Zea tertawa pendek, penuh amarah. "Lo pikir kita masih punya waktu buat ngerjain semuanya dari awal? Ini bukan tugas sekolah yang bisa lo kumpulin belakangan, Ray. Besok kita harus pamerin ini di aula!"

"Ya terus lo mau ngapain?! Nyalahin Hana sampai pagi? Itu nggak bakal bikin busananya utuh lagi!"

"Setidaknya gue nggak berdiam diri kayak lo!"

Ray menggeram, dan sebelum siapa pun bisa bereaksi, ia bergerak maju, tangannya terangkat seperti akan mendorong Zea.

Tapi Gaska lebih cepat.

Lelaki yang baru datang itu menahan bahu Ray dengan kuat, suaranya datar tapi dingin. "Nggak ada yang main tangan di rumah gue."

Ruangan mendadak hening.

Ray terdiam, dadanya naik turun menahan emosi. Gaska tidak melepaskan genggamannya sampai akhirnya Ray menggerutu dan mundur dengan kasar.

Tatapan Zea kembali ke kain busana yang terkoyak di ruang tengah. Hancur, berantakan, seperti usaha mereka selama ini tak ada artinya. Seperti semua yang telah ia lakukan selama ini hanya akan berakhir seperti yang tertulis dalam novel sialan ini.

Hana tetap dipeluk Ray, terlindungi di dalam cangkangnya yang rapuh namun selalu diberi perlindungan. Zea? Ia tetap menjadi antagonis yang harus kalah. Ia bisa marah, ia bisa menyalahkan, tapi pada akhirnya ... tidak ada yang akan berpihak padanya. Tidak ada yang akan mengubah skenario ini.

Pada akhirnya, ia tetap Zea yang semua orang benci.

Gadis itu mengembuskan napas berat, memejamkan mata sejenak, lalu cepat-cepat menggeleng. Tidak, tidak. Ia tidak boleh berpikir seperti itu. Ia bukan boneka yang terjebak di dalam cerita ini. Ia masih bisa bertindak, masih bisa melawan.

Gadis itu menoleh ke arah jam dinding.

Pukul delapan malam.

Masih ada waktu. Masih ada sebelas jam hingga pukul tujuh pagi datang.

"Zea!" Dira buru-buru menyusulnya. "Lo mau ke mana?"

Zea tidak menghentikan langkahnya. "Beli bahan baru."

Dira ternganga. "Zea, kita nggak akan sempat. Besok pagi kita harus pamerin ini."

Zea berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan tajam. "Kalau lo mau tinggal di sini dan nangis bareng Hana, silakan. Gue bisa ngerjain ini sendiri."

Dan dengan itu, ia kembali melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang masih dipenuhi ketegangan.

Tbc

Breaking The Script [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang