"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!"
"Fact one: you're annoying. Fact two: that's it."
.
S...
Sialan sekali Zea ini, dari mana gadis itu tahu tentang perasaannya pada Elga?!
Zea bahkan nampak tidak peduli, membuka buku yang ia bawa tadi dengan penuh antusias. Begitu layar terbuka, ia menarik napas lega, lalu membuka halaman sketsa yang baru saja ia gambar. Garis-garis pensil yang kuat membentuk desain busana elegan, dengan detail ruffle dan aksen lace yang ia rancang khusus untuk proyek mereka nanti.
Elga, yang awalnya hanya membantu asal-asalan, langsung bersiul pelan saat melihat sketsa itu. "Gila, lo yang gambar ini?"
Zea mengangkat dagunya dengan bangga. "Jelas lah."
Elga mengamati sketsa itu lebih dekat, matanya menyipit seakan menganalisis tiap detail. "Gue nggak nyangka lo bisa gambar sebegininya. Serius, ini keren banget."
Zea nyengir, menikmati pujian itu. "Gue emang jago, lo aja yang baru sadar."
Di belakang mereka, Gisel yang pura-pura sibuk merapikan buku melirik sekilas ke arah sketsa Zea. Mata gadis itu sedikit membesar, namun ia segera mengalihkan pandangannya dengan cepat, seolah tidak ingin ketahuan tertarik.
Tapi kesenangan Zea tidak berlangsung lama.
Tiba-tiba, buku sketsanya ditarik begitu saja dari tangannya.
Zea terkejut, spontan berdiri. "Hey-"
Ray.
Gadis itu mengeraskan rahang, apakah lelaki itu bosan menarik rambutnya hingga kini malah menarik bukunya?!
"Sejak kapan lo bisa gambar?" tanya lelaki itu dingin.
Zea menyipitkan mata. "Bukan urusan lo. Balikin."
Ray tidak menghiraukannya. Ia terus meneliti sketsa itu, matanya semakin menyempit. "Dulu lo bahkan nggak bisa pegang pensil dengan bener."
Zea mengepalkan tangan, emosinya mulai naik. "Gue bilang, balikin, Ray."
Lelaki itu justru tertawa pendek, nada suaranya penuh sindiran. "Jangan bilang ini gambar lo. Lo nyolong dari Hana, kan?"
Suasana langsung berubah tegang.
Elga yang tadinya santai, kini mengangkat alis, menatap Ray dengan ekspresi tertarik. Sementara itu, Gisel yang berdiri di belakang mulai merasa ini akan jadi tontonan seru.
Tapi Zea tidak merasa ini menghibur sama sekali.
"Apa lo bilang?" suaranya rendah, bahaya mengintai di tiap katanya.
Ray menatapnya tajam. "Lo pikir gue nggak kenal lo? Gue pacaran sama lo setahun lebih, Zea. Selama itu, lo nggak pernah sekalipun bisa gambar. Sekarang tiba-tiba lo jago? Nggak masuk akal."
"Dulu dulu dulu!" Zea tertawa sinis. "Sekalian aja lo bilang dulu juga gue gak bisa jalan pas lahir! Jangan lupa juga, Ray, setiap orang itu bisa berkembang!"
Ray melipat tangan, matanya tidak bergeming. "Lo itu nggak pernah bisa ngelakuin apa-apa tanpa mencuri sesuatu dari orang lain."
Jantung Zea berdebar keras. Dadanya sesak, tapi bukan karena sedih, melainkan amarah yang sudah memuncak.
"Lo gila." Zea mendekat, menatap Ray tanpa takut. "Denger ya, kalau lo udah kehilangan akal sehat sampe nuduh gue nyolong gambar Hana, itu udah termasuk pencamaran nama baik, kesalahan logika, dan menodai karya seni gue!"
Ray terdiam sejenak, ia hampir kehabisan kata-kata. "Gue cuma realistis."
"Realistis apanya? Itu lo yang denial, nggak bisa nerima kenyataan kalau gue lebih-" Zea menarik napas, lama-lama ia muak juga meladeni perdebatan tak berujung ini. "Mending lo balik ke cewek lo yang berduaan ama Kiyo itu, tanya ke dia, apa dia sendiri bisa bikin sketsa sebagus ini?"
Tapi sebelum Ray membuka mulut, sebuah tendangan tepat mengenai tulang keringnya.
Lelaki itu tersentak, meringis kesakitan.
Tapi Zea tidak peduli, ia merebut kembali bukunya dengan kasar, memperbaiki lembaran yang lecek akibat genggaman Ray. "Bedain lukisan dan sketsa. Orang yang bisa ngelukis belum tentu bisa ngegambar sketsa, begitupun sebaliknya."
Hana memang pandai melukis, tapi sebagai mahasiswa dari fakultas Seni dan Desain, Zea tahu perbedaan besar antara teknik lukis dan menggambar. Dan menuduh Zea mengklaim karya Hana? Itu tidak masuk akal, melihat dari bidang yang mereka kuasai saja sudah berbeda.
Zea kini berdiri tegak di hadapan Ray. Gadis itu yakin, mantannya tidak sebodoh itu untuk tak mengerti ucapannya.
Tanpa membuang waktu lagi, Zea berbalik, menyambar tasnya, lalu pergi dari sana tanpa melihat ke belakang.
Sementara itu, Elga hanya bersiul pelan. "Damn. Itu lebih seru dari yang gue kira."