Berbeda dengannya, Gisel yang berjalan di belakangnya justru tampak ogah-ogahan, sesekali mendengus kesal seolah mengutuk takdir yang membuat mereka harus dihukum bersama.
Zea menoleh sedikit, sekadar memastikan bahwa ekspresi sebal di wajah Gisel masih sama seperti tadi.
Zea hanya terkekeh kecil. Ia bisa memahami kenapa Gisel kesal, bagaimana pun juga, insiden perkelahian mereka tempo hari cukup heboh, dan sekarang mereka harus menerima konsekuensinya. Tapi bagi Zea, ini bukan hukuman. Ini kesempatan.
Karena sebelum ini, Dira dan Hana akhirnya sepakat untuk membuat busana sebagai proyek kelompok mereka. Dira memang butuh diyakinkan, tapi akhirnya ia setuju. Hana? Tak perlu ditanya. Dengan kelembutannya, ia hampir selalu setuju dengan keputusan kelompok.
Untuk menghindari insiden lukisan rusak karena ketumpahan cat, Zea memilih jalan lain, sesuatu yang benar-benar bisa ia nikmati, mendesain busana.
Maka dari itu, Zea merasa lebih beruntung daripada dihukum. Perpustakaan adalah tempat yang tenang, di mana ia bisa menggambar tanpa gangguan setelah menyelesaikan tugas hukumannya.
Sayangnya, ekspektasi sering kali berlawanan dengan realitas.
Saat melangkah masuk ke dalam perpustakaan, senyumnya memudar begitu matanya menangkap sosok yang bersandar di dekat jendela.
Elga disana, nampak serius membalik halaman pada buku yang ia baca.
Zea mendesah pelan. Hari yang awalnya baik-baik saja kini terasa seperti ditarik kembali ke dalam suasana buruk.
Elga menoleh dengan santai, seolah sudah tahu Zea akan datang. Ia menyeringai kecil sebelum melompat turun. "Wah, yang berandal datang."
Zea mengangkat alis, melewati lelaki itu. "Nggak nyangka lo bisa baca."
Lelaki itu terkekeh kecil. "Jaga omongan lo, Zea. Gue bisa aja bantuin lo nyelesain hukuman ini."
Zea mengernyit, bingung. "Hah?"
Tanpa menunggu jawaban, Elga melangkah mendekat dan mengambil salah satu buku yang harus mereka rapikan sebagai bagian dari hukuman. Dengan gerakan santai, ia mulai bekerja, seolah-olah ini bukan hal besar baginya.
Zea menatapnya, masih dalam posisi diam.
Baru kali ini ia benar-benar memperhatikan sesuatu. Sejak awal, semua orang selalu menganggap Elga berada di pihak Hana juga. Tapi kalau dipikir lagi, selama ini tidak pernah ada narasi yang secara eksplisit menyebutkan kalau ia menyukai Hana.
Semua orang hanya berasumsi begitu karena Elga adalah sahabat Ray dan Kiyo.
Tapi kalau diperhatikan lebih dalam, Elga sebenarnya selalu netral.
Zea melirik ke arahnya lagi. Lelaki itu tetap tenang, sama sekali tak terganggu dengan tatapan penuh analisis dari Zea.
"Yaudah," gadis itu memutuskan. "Lo aja yang ngerjain hukuman gue."
Elga terkekeh. "Ngelunjak nih anak."
"Kalo abis nawarin gak bisa ditolak lagi." Zea mulai mengambil duduk pada salah satu bangku. "Laki-laki gak boleh narik kata-katanya balik."
Di belakang mereka, Gisel yang sejak tadi diam hanya bisa mendengus pelan. Matanya menyipit, menahan kesal melihat Zea dan Elga yang terus berdebat ... tapi dengan cara yang, entah bagaimana, justru terlihat akrab.
"Lagian-" tapi Zea belum selesai. "Gisel kayaknya lebih suka dibantuin lo dibanding gue." ia terkekeh.
Gisel langsung memelototkan mata begitu Elga menoleh padanya dengan sebelah alis terangkat.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)