Setelah semua barang-barang pelanggar aturan itu terkumpul, Zea berdiri dengan penuh gaya, menepuk roknya, lalu menatap Gaska sambil menyeringai. "Makasih ya, udah mau urusin gue."
Gaska menatapnya tanpa emosi. "Setiap saat."
Zea menyentuh dagunya seolah berpikir. "Kalau lo segalak ini ngurusin aturan, gimana kalau lo jadi pacar gue aja? Kan lebih gampang buat lo atur-atur."
Ruangan OSIS langsung gempar.
Beberapa anggota OSIS menunggu reaksi Gaska, tapi lelaki itu tetap tenang. Ia hanya menatap Zea sejenak, lalu dengan santai menyandarkan punggung ke kursi. "Kalo niat lo ngeganggu konsentrasi gue, Zea, sayangnya nggak berhasil."
Zea terkekeh, melangkah keluar ruangan dengan santai. "Belum berhasil aja."
Gaska tetap diam, hanya mengikuti punggung Zea dengan wajah tanpa ekspresi, sementara anggota OSIS lain masih terkikik puas melihat interaksi mereka.
.
Karena masih jam istirahat, ruang kelas menjadi sepi.
Zea duduk di bangkunya, sibuk menghapus sisa makeup tebalnya dengan micellar water. Hampir selesai, hanya tinggal sedikit foundation di sekitar rahang.
Saat ia mengganti kapas, Kiyo berjalan melewatinya. Sekilas melirik, lalu dengan nada santai tapi jelas terdengar julid, lelaki itu berkomentar. "Abis ngegatel dimana lagi lo?"
"Ama bapak lo noh di ruang kepsek!"
Langkah Kiyo terhenti, alisnya berkedut, menatap Zea yang masih sibuk dengan sisa-sisa riasan gadis itu. "Lo tahu darimana ... bokap gue kepsek?"
"Gue kan emang punya hubungan spesial ama bokap lo." Zea hanya melirik sekilas, menyeringai misterius. "Udah sana, gangguin mama aja!"
Kiyo langsung keluar kelas dengan langkah terburu-buru, hampir menabrak pintu. Dengan napas memburu, kepalanya penuh dengan pertanyaan. Dari mana Zea tahu ayahnya kepala sekolah? Sejauh ini, ia sudah sangat hati-hati merahasiakan statusnya. Kalau sampai ketahuan, pasti bakal muncul omongan nepotisme, hal yang paling ia hindari.
Tapi ... kalau Zea tahu, apa itu berarti-
"Anjir, nggak mungkin. Mana mungkin bokap ...." Kiyo menggeleng cepat, menepis pikirannya sendiri. Ia harus segera ke ruangan sang Ayah untuk meminta penjelasan.
Sementara itu, di dalam kelas, Zea hanya tertawa kecil, merasa puas melihat ekspresi panik Kiyo. Bocah julid itu memang harus ia beri pelajaran sesekali.
Namun, rasa puasnya hanya bertahan beberapa detik sebelum sosok Hana muncul di pintu kelas.
"Hai, Zea."
Zea yang masih membereskan kapas bekas makeup, melirik sekilas. "Hm."
Hana menggigit bibirnya, tampak sedikit canggung sebelum akhirnya berkata, "Aku mau minta maaf atas nama Ray ... soal kejadian tempo hari."
Zea menarik napas pelan. Lagi-lagi Ray. "Apaan lagi?"
"Tolong maafin Ray ... dia emang orangnya gitu."
Zea mendengus, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jadi kalau dia main tangan, gue harus maklum?"
"Bukan gitu ...." Hana mengerutkan alis, berusaha memilih kata-kata. "Dia cuma ... sedikit tempramental. Dan kamu tahu, kalian punya sejarah yang ... ya, nggak baik."
"Oh, pantes." Zea tertawa kecil, tanpa humor. "Karena gue mantan, gue harus sabar kalau dia mau ngejatuhin gue?"
Hana menghela napas. "Aku nggak bilang gitu, Zea. Aku cuma ...."
Zea melambaikan tangan, memotong. "Udah, Han. Gue dengerin kok. Tapi ya, udah. Gue nggak mau berdebat soal Ray."
Hana menatapnya beberapa detik, pada akhirnya ia tak berani memancing Zea lebih jauh. "Oke." gadis itu tersenyum canggung.
Suasana sempat hening sebelum Hana akhirnya membuka suara lagi.
"Oh iya, tadi Bu Ratna nitip pesan. Kita dapat tugas kelompok buat prakarya. Aku, kamu, sama Dira."
Zea memutar bola mata. "Serius? Gue satu kelompok sama kalian?"
Hana tersenyum kecil.
"Ya udah, kapan mulai?" tanya Zea dengan decakan malas, kini mulai membersihkan sisa-sisa kapas dan alat riasnya diatas meja.
"Besok kita kumpul habis kelas."
Zea langsung menghentikan pergerakan, alisnya mengernyit serius. Ia ingat bagian ini ... di mana mereka harus memamerkan hasil prakarya mereka di depan kelas, dan Zea terlalu sibuk mendekati Ray, hingga secara tidak sengaja merusak hasil kerja kelompoknya sendiri.
Dalam novel Loving the the Devil, tokoh antagonis, yang jelas posisinya saat ini, menumpahkan cat pada lukisan yang seharusnya dipresentasikan. Hasilnya? Semua orang tertawa, sementara Ray dengan gagahnya membantu Hana memperbaiki situasi. Momen itu membuat kemistri mereka semakin kuat, dan Zea malah menjadi pihak paling di salahkan.
Zea langsung memutar otak. Tidak, itu tidak akan terjadi.
Ia harus cari cara supaya tidak berada di pusat perhatian saat presentasi nanti, atau kalau bisa, mencegah proyek mereka berujung jadi sesuatu yang berpotensi memalukan.
Tbc
Jangan lupa vote, komen, dan follow (yang ini opsional kalo kalian berkenan.) biar aku semangat ngehalunya, peace🫰
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)