Ray yang baru tiba di area itu bersama Hana juga langsung menghentikan langkahnya, matanya melebar saat melihat situasi di atas.
Di tengah perhatian semua orang, Zea sama sekali terlihat tak peduli, ia masih berusaha mendesak Gisel pada pembatas lantai.
Gisel terengah-engah, tubuhnya masih gemetar. "Zea brengsek!"
Zea hanya menyeringai. "Gue cuma ngasih lo peringatan," katanya pelan, nyaris seperti bisikan. "Mulai sekarang, jaga mulut lo."
Tanpa menghiraukan tatapan penuh keterkejutan dari para murid, Zea berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Gisel yang masih terpaku di tempatnya, sementara suara bisik-bisik mulai memenuhi udara.
Hingga saat Zea baru saja mencapai anak tangga terakhir, suara langkah kaki yang cepat menghampirinya. Sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, sebuah tangan kokoh mencengkeram lengannya dengan kuat.
"Zea," suara Gaska terdengar tegas di didekatnya.
Zea menoleh dengan alis terangkat, melihat Gaska yang kini berdiri di depannya, ekspresinya dingin dan penuh otoritas. Di belakangnya, beberapa anggota OSIS, termasuk Dira, sudah berkumpul, menatapnya dengan campuran keterkejutan dan kewaspadaan.
"Kita ke ruang konseling," ujar Gaska, tidak memberi ruang untuk penolakan.
Zea hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Buat apa?"
Gisel, yang masih berdiri dengan napas tersengal di tepi pembatas, langsung menyahut dengan suara gemetar, "Lo serius nanya? Lo hampir ngebunuh gue sialan!"
Mata Zea menyipit, namun sebelum ia bisa membalas, Gaska sudah menariknya lebih jauh dari pembatas. "Jangan bikin ini lebih rumit, Zea."
Zea diam sejenak, menimbang situasi. Ia melirik ke arah Dira, yang hanya bisa menghela napas berat, lalu ke arah Ray yang masih berdiri di dekat Hana, menatapnya tanpa ekspresi.
"Fine," gumamnya mengalah, sebelum melepaskan cengkeraman Gaska dengan sedikit sentakan.
Tak ingin memperpanjang masalah, Zea akhirnya berjalan mengikuti Gaska dan rombongan OSIS menuju ruang konseling, dengan Gisel yang masih terus mengoceh di belakang mereka tentang bagaimana Zea hampir membunuhnya.
Sepanjang perjalanan, bisik-bisik para murid semakin nyaring, membuat Zea hanya bisa mendengus pelan.
Ini akan jadi hari yang panjang.
.
Pintu ruang konseling terbuka. Zea melangkah keluar lebih dulu, disusul oleh Gisel yang masih memasang ekspresi sebal. Gadis itu melirik Zea dengan tatapan sinis yang jelas penuh gengsi.
"Lo puas sekarang?" sindir Gisel sebelum melenggang pergi, tumit sepatunya berdetak ringan di lantai koridor.
Zea hanya mendengus, malas meladeni. Matanya tetap lurus, tapi pikirannya masih dipenuhi sisa ketegangan dari pertengkaran tadi.
"Kalian berdua sudah hampir bikin rusuh di sekolah. Jadi, mulai besok, kalian bakal kerja sosial selama dua minggu. Setiap istirahat dan sepulang sekolah, kalian bantu di perpustakaan. Saya tidak mau mendengar alasan." kira-kira begitulah hukuman yang ditetapkan Bu Sari, selaku guru bimbingan konseling, untuk mereka.
Gisel tampak hendak protes, tapi tatapan tajam Bu Sari cukup untuk membuatnya tutup mulut. Dengan dengusan kesal, ia akhirnya pergi.
Sementara itu, Zea tetap berdiri di tempatnya. Bukan karena hukuman itu mengganggunya. Jujur, ia sudah mengira bakal dapat konsekuensi.
Tapi karena ia sedang menunggu seseorang.
Tak lama, Gaska akhirnya keluar dari ruang konseling.
Lelaki itu tampak sedikit capek, tapi tetap terlihat tenang seperti biasanya. Ia merapikan sedikit rambutnya, lalu melirik ke samping, menemukan Zea yang masih berdiri disana.
Dan Zea cukup yakin, ini permulaan yang tepat. "Lo ketua OSIS, kan?" Zea menatapnya sambil melipat tangan di dada.
Gaska meliriknya sebentar, lalu menghela napas. "Ya, terus?"
"Lo gak bisa ngeringanin hukuman gue?" Zea menaikkan alis, menatapnya penuh harap.
Gaska menatapnya datar. "Lo becanda?"
"Gue serius."
Lelaki itu mengusap wajah, jelas lelah. "Lo yang bikin masalah, Zea."
"Tapi dia yang mulai!"
"Terus lo yang hampir bikin dia jatuh dari lantai tiga."
Zea mengerucutkan bibirnya. "Cuma hampir."
Gaska mendengus pelan, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Lo sadar gak sih, kalo gue ikut meringankan hukuman lo, itu sama aja kayak gue gak netral?"
Zea mendekat selangkah, menatapnya dengan ekspresi penuh harap. "Tapi lo bisa kan?"
Gaska menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. "Gue bisa, tapi gue gak akan."
Zea mendecak kesal. "Judes banget, sih."
Gaska menoleh sebentar, ekspresinya masih sama. "Gue cuma adil."
"Oke, kalo lo gak bisa bantuin gue-" Zea menatapnya lekat-lekat, lalu tiba-tiba menyeringai. "Minimal lo bisa nemenin gue."
Gaska mengangkat sebelah alis.
Zea memainkan ujung sepatunya. "Iya ... Temenin. Ngopi atau apa kek."
Gaska mengerjap, seolah memastikan ia tidak salah dengar. "Lo ngajak gue jalan?"
"Iya." Zea mengangguk mantap. "Gue gak suka basa-basi."
Gaska menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tertawa pendek, tanpa humor. "Gak."
Zea mengerutkan kening. "Gak apa?"
"Gak mau," jawab Gaska enteng.
"Hah?" gadis itu berkedip, tidak menyangka penolakannya bakal secepat dan sekeras itu. "Kenapa?"
Gaska mengangkat bahu. "Karena gak ada alasan buat gue jalan sama lo."
Zea mendengus, kali ini benar-benar tersinggung. "Gue gak cukup menarik buat lo?"
Gaska menatapnya sebentar, lalu menyeringai tipis. "Gue cuma males aja."
Zea mendengus lebih keras. "Gila, lo jual mahal banget."
"Lo baru sadar?"
Zea memutar bola matanya, jelas kesal. "Lo nyesel nanti."
Gaska tertawa mengejek, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Meninggalkan Zea yang menatap langit-langit koridor seperti berbicara langsung pada penulis dunia fiksi ini untuk menguatkannya. "Oke. Kalau harus gue bikin lo suka pake cara musuh-musuhan dulu, gue terima tantangan ini, semesta!"
Seorang siswa yang lewat menatap gadis itu aneh, ia melirik balik lebih tajam.
Tbc
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)