Zea meliriknya sekilas. "Terus?"

"Lucu aja." Gisel tertawa kecil, bersandar santai. "Mengingat dulu lo selalu bilang kalau dia itu norak dan gak punya kelas."

Zea mengangkat alisnya. "Dulu."

Gisel mengedikkan bahu. "Iya, dulu. Tapi gue penasaran, lo beneran temenan ama dia sekarang?"

"Emangnya kenapa?"

Gisel tersenyum tipis, kali ini dengan nada yang lebih tajam. "Cuma heran aja, biasanya lo gak tertarik begaul ama orang yang gak ada manfaatnya buat lo."

Zea menatap Gisel lebih lama kali ini. "Gue gak tahu lo mau nyindir atau ngomong jujur, tapi lo bener ...."

Ia beranjak dari tempatnya, mengambil satu langkah, berdiri di depan Gisel dengan tatapan dingin.

"Gue gak tertarik begaul ama orang yang gak ada manfaatnya, so mulai hari ini ...." telunjuknya ia taruh ke jidat Gisel. "Lo gak ada manfaatnya lagi buat gue."

Zea menarik sudut bibir, melihat rahang mengerat Gisel, ia puas.

Gisel menepis tangan Zea dari jidatnya dengan kasar, matanya menyipit penuh amarah. "Lo pikir lo siapa, hah?" suaranya bergetar, tapi bukan karena takut-melainkan karena amarah yang tertahan.

Zea hanya menatapnya santai, dengan seringai kecil yang jelas sengaja ia tunjukkan untuk memancing emosi Gisel lebih jauh. "Gue? Gue Zea Maheswari. Dan lo ...." Zea melipat tangannya di depan dada, menatap Gisel dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. "Cuma bayangan lama yang seharusnya udah gue buang sejak dulu."

Gisel mendengus, mendekat dengan sorot mata tajam. "Jangan songong, Zea. Lo pikir lo berubah jadi orang baik? Jangan ngelucu deh. Lo tetap sama, tetap brengsek, tetap manipulatif!"

Zea mendekat juga, kini hanya berjarak beberapa senti dari wajah Gisel. "Oh? Jadi lo takut ya? Takut gue gak butuh lo lagi?"

Gisel mendadak mendorong bahu Zea dengan kuat, membuat gadis itu mundur selangkah. Tapi Zea tidak goyah. Ia justru tersenyum semakin lebar, seakan menikmati pertengkaran ini.

"Kenapa, Gisel? Emosi? Kesel?" Zea mencondongkan tubuhnya, berbicara lebih pelan namun jelas. "Atau jangan-jangan ... lo takut ditinggal sendirian?"

Gisel berteriak frustasi sebelum kembali mendorong Zea, lebih keras kali ini. Namun Zea justru menangkap pergelangan tangan Gisel dengan cepat, memelintirnya sedikit hingga gadis itu meringis kesakitan.

"Lo gak berubah, Zea!" seru Gisel, suaranya mulai terdengar putus asa. "Lo tetap cewek gila yang selalu ngemis perhatian Ray!"

Zea tersenyum sinis. "Dan lo cuma pengikut cewek gila ini."

Dengan satu gerakan cepat, Zea mendesak Gisel ke belakang hingga punggung gadis itu hampir menabrak pembatas lantai dua. Napas Gisel tersengal, matanya membelalak saat menyadari posisinya yang begitu dekat dengan tepi.

"L-lo gila hah?!" jerit Gisel, tangannya gemetar mencengkeram pembatas.

Saat itulah, teriakan Gisel menarik perhatian semua orang. Pintu-pintu kelas terbuka, dan para murid berhamburan keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dari tengah lapangan, Gaska yang awalnya fokus pada barisan anak-anak yang dihukum, kini mendongak, ekspresinya langsung berubah tegang saat melihat Zea dan Gisel di tepi lantai tiga, buru-buru ia beranjak dari sana.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now