42. Flashback

1.1K 123 18
                                    

Happy reading

        

       

"Papa mama jangan balik ke Singapore ya. Jeno pengen papa sama mama ada disini. Nemenin Jeno. Boleh Pa?"

Hayden tertegun. Ia menoleh pada sang istri.

"Jen, tapi kan-"

"Ya udah kalo gak bisa gapapa," nada bicara Jeno sarat akan kekecewaan.

Hayden menjadi tak tega.

"Nanti papa pikirin lagi ya!? Maaf Jeno, tapi gak semudah itu buat papa karena usaha papa di Singapore udah terlanjur besar. Nanti papa bicarain sama tim papa ya..."

Jeno mengangguk.

"Maaf kalo Jeno terlalu menuntut. Jeno cuma mau papa mama ada disini dampingi Jeno. Kalo dulu alasan papa sama mama di Singapore karena Naja, apa Jeno egois kalo sekarang Jeno minta papa mama tinggal disini demi Jeno? Papa mama ngusahain kesembuhan Naja selama belasan tahun di Singapore. Sekarang Naja udah sehat, Jeno yang sakit. Gak bisakah papa mama lakuin hal yang sama buat Jeno?"

Hayden dan Fanny seakan tertampar oleh ucapan si bungsu. Keduanya saling tatap bingung. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan Jeno.

Sementara Naja menatap iba pada sang saudara kembar. Dalam hati ia memahami keinginan Jeno. Adiknya itu sedang dalam kondisi psikis yang tidak baik. Ia butuh didampingi oleh kedua orang tuanya.

"Udahlah Pa, Ma. Gak usah terlalu dipikirin," ucap Jeno karena tak kunjung mendapat jawaban dari kedua orang tuanya.

"Sayang, nanti mama coba pikikan lagi ya. Mama akan usahain," ucap Fanny.

Jeno menggeleng.

"Gak usah Ma. Gak perlu. Jangan pikirin omongan Jeno tadi. Jeno gapapa kok sendirian," kata Jeno, sarat akan kekecewaan.

"Jeno udah biasa sendirian. Tanpa Mama Papa."

Hati Hayden dan Fanny kembali tersentil karena ucapan Jeno.

"Jeno Sayang..."

"Maaf Ma. Jeno mau tidur. Kepala Jeno sakit."

Setelah mengatakannya Jeno menarik selimut hingga menutupi kepalanya dan bersiap tidur dalam posisi miring. Tepat saat ia bergerak menutup wajahnya dengan selimut, air matanya menetes. Jeno menangis dalam diam. Tanpa ada yang tahu ataupun merasa, kecuali Naja.

       

°°

       

Tak lama kemudian Jeno benar-benar terlelap. Ditandai dengan terdengarnya dengkuran halusnya. Hayden membuka selimut yang menutup wajahnya secara perlahan. Bisa dilihatnya jejak air mata di wajah tampan si bungsu.

"Jeno kecapekan nangis ya Nak? Dari tadi nangis terus. Maafin papa ya. Kamu banyak nangis hari ini karena papa," ucap Hayden lirih.

Fanny mendekat padanya dan mengusap-usap punggungnya. Hayden mendongak pada sang istri.

"Aku bersyukur dan merasa beruntung sekali Naja dan Jeno lahir dan melengkapi rumah tangga kita. Tapi sekarang aku menyesal karena hanya luka yang aku berikan ke mereka, Sayang. Terutama Jeno. Begitu banyak luka yang dia terima karena jadi anakku," ucap Hayden penuh penyesalan.

"Pa, jangan ngomong gitu. Ada alasan kenapa mereka terlahir sebagai anak-anak kita. Dan pastinya Tuhan percaya, kalo kita adalah orang tua yang terbaik buat mereka. Walaupun kita masih sangat jauh dari kata sempurna. Tapi setidaknya kita berusaha untuk beri yang terbaik buat mereka," ujar Fanny dengan lembut.

Neighbour | MarkNo (END) Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin