Bab 22

361 29 4
                                    

Happy Reading

Di luar, semuanya seolah tampak sempurna.
Semuanya seolah tampak baik-baik saja.
Semuanya seolah tampak normal.
Aku bahagia, tapi nyatanya tidak.
Aku punya kedua orang tua lengkap.
Aku punya dua kakak laki-laki.
Aku punya banyak saudara.
Tapi aku selalu merasa kesepian.
Aku selalu sendirian, memandang kosong setiap ruangan tanpa adanya seorang teman.
Tanpa ada seseorang yang bisa aku ajak bicara.
Semuanya terasa sunyi, sepi, dan aku ditinggal sendiri.
Duduk termenung, tanpa tahu harus melakukan apa, tanpa tahu harus bicara sama siapa.
Aku seolah punya banyak teman, tapi nyatanya tak ada satu pun yang bisa menemaniku.
Aku kesepian, dan aku tidak baik-baik saja.

Kata dalam kertas itu selesai, lalu Brian membaca sederet kalimat yang tertulis di kertas berikutnya.

Aku gak tahu, apakah ada yang sayang sama aku?
Aku gak tahu definisi sayang itu seperti apa?
Kenapa semua orang meninggalkan aku?
Kenapa semua orang seolah tidak peduli sama aku?

Habis, dan Brian beralih ke kertas yang lainnya.

Kenapa aku selalu merasa kesepian di saat sendiri atau pun di tengah-tengah keramaian.
Semua orang seolah punya dunianya sendiri, tanpa mau menarik aku masuk ke dalamnya.
Semua orang terus membicarakan tentang sesuatu yang tidak aku pahami, dan hanya menyimak tanpa tahu harus merespons apa.
Semua orang tampak asyik, dan aku merasa kosong sendirian.
Semuanya tampak palsu, dan semuanya tampak memuakkan.
Aku benci hidup ini.
Aku membenci orang-orang di sekitarku.
Aku membenci orang yang bersikap seolah mau menjadi temanku, tapi ternyata mereka palsu.

Ganti kertas berikutnya.

Mama, aku butuh mama.
Aku butuh mama sebagai teman, sekaligus tempat curhat di saat aku lelah, dan tidak punya siapa-siapa.
Aku butuh mama menemaniku di saat aku sendirian, biar aku gak kesepian.
Aku ingin mama selalu ada di rumah, menemaniku.
Aku punya banyak pertanyaan yang selalu aku simpan sendirian.
Aku ingin menanyakan banyak hal kepada mama.
Aku ingin mama ada di rumah di saat aku pulang sekolah.
Aku butuh mama.

Terdiam. Rasanya begitu sesak setelah Brian membaca kata demi kata yang tertulis dalam beberapa lembar kertas yang ia pegang. Kertas dengan sobekkan yang tak sesuai. Kertas kusut bekas remasan yang ia dapatkan dari Arjun, adiknya. Brian tahu itu tulisan siapa, dan karena tahu siapa pemiliknya, cowok itu hanya bisa terdiam cukup lama tanpa tahu harus berkata apa.

Ia tertunduk dengan helaan napas panjang. Berbagai macam perasaan tak mengenakkan terus saja bermunculan.
Berbagai macam kalimat yang diawali kata seandalnya kembali berdatangan.

Seandainya dulu ia lebih peka.

Seandainya dulu ia lebih perhatian kepada adik perempuannya.

Seandainya dulu ia bisa menjadi saudara dan teman yang baik untuk adiknya.

Mungkin sekarang semuanya tidak akan seperti ini.

Brian mengepalkan tangannya dengan kuat. Menghembuskan napas, lalu mendongak, menatap mamanya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

Dan melihat kondisi mamanya yang sekarang, penyesalan yang lain pun kembali datang.

Ia menyesal karena terlalu egois, memilih lari dan menyibukkan diri dengan bekerja. Menyesal karena empat hari terakhir ini ia tidak pulang ke rumah dan memilih menginap di apartemen. Seharusnya, ia tidak membiarkan mamanya sendirian di rumah. Seharusnya di hari Jumat kemarin ia tidak membatalkan pertemuannya dengan Keisha, dan mengajak gadis itu main ke rumahnya seperti biasa.

From Work To LoveWhere stories live. Discover now