Lingga Baganti- 35

596 84 0
                                    

Ia bawa dirinya berdiri, sebuah lorong di mana biasanya ia menampakkan diri. Melangkah tanpa arah, dan berhenti di sebuah belokan kelas di mana sesosok makhluk hitam besar telah berdiri di sana selama ribuan tahun, kepalanya tidak bisa dilihat saking tingginya perawakan makhluk itu.

"Aku tahu kamu tahu semuanya, siapa aku?"

Makhluk itu hanya diam, tak menghiraukan eksistensinya.

Daniel membawa langkahnya ke tempat lain, menuruni tangga dan menatap wanita dengan bolongan di belakang tubuhnya berdiri di sudut lorong. Daniel mendekat, tapi sosoknya menghilang.

Ia tidak menyerah, kembali melangkah menuruni tangga demi tangga hingga ia berada di lantai satu. Seorang nenek dengan mata yang pecah itu masih ada di sana, ia mendekati dengan hati-hati.

"Kenapa aku mati?"

Nenek itu hanya diam, mereka semua bungkam. Tapi Daniel tidak menyerah. Ia membawa langkahnya ke luar, ketika mendengar suara dari dalam membuat ia menghentikan langkahnya kembali.

"Sudah terlalu terlambat untuk menanyakan itu sekarang."

Daniel menatap nenek itu nanar, tubuhnya perlahan menghilang ditelan pekatnya kegelapan.

Daniel kembali melangkah. Benar, sudah terlalu terlambat untuk menanyakan hal itu. Mungkin sudah lebih dari tujuh puluh tahun dia di sini, dan ia sama sekali tidak pernah bertanya, dan ketika ia memutuskan untuk bertanya sekarang, para penghuni di sana bungkam dengan kekuatan Iblis Hitam yang mengunci mereka.

Langkahnya membawanya ke kolam, di sampingnya terdapat pohon rindang yang sudah ada di sana bahkan sebelum dirinya datang. Daniel mendekat, langkahnya diperhatikan oleh para penunggu di sana, entah turut sedih atas dirinya, atau justru menertawakannya.

Daniel menatap dirinya dari bayangan kolam, kosong, tidak ada apa-apa di sana. Lihat betapa menyedihkannya, ia justru malah menyakiti dirinya sendiri.

"DANIEL!"

Ia menghela napas lega, suara yang selalu membuat dirinya terasa aman, ia berbalik menatap Saddam.

Para OSIS datang mencarinya ke Lingga Baganti di tengah malam seperti ini.

Saddam menghampirinya, menatapnya dengan tatapan datar penuh kesedihan.

"Saddam, aku gagal mengingat kembali."

Pemuda itu menggeleng. "Daniel, Lo gak harus mendorong diri Lo sekeras itu. Gue pasti akan bantu Lo untuk mengingat."

Para OSIS di sana saling tatap satu sama lain, hingga terdengar helaan napas dari Paris.

"Kita buntu."

Saddam menggeleng. "Gak, masih ada cara lain. Gue akan panggil nenek gue."

"M-maksud Lo, Lo mau ngadain ritual pemanggilan arwah?" Edrea menatap takut pada Saddam.

"Gak ada pilihan lain, kita harus segera tahu siapa Daniel sebelum serangan puncak Abraham Franklin terjadi."

"Tapi itu bahaya Saddam, apa gak ada cara lain yang gak melibatkan nyawa di sini?" Hikaru menatap pemuda itu cemas.

"Gue harus ngelakuin itu Hikaru-"

"Gak!"

Semua orang menoleh pada Isamu yang baru saja memotong ucapan Saddam. Ketua OSIS itu menatap satu persatu semua orang di sana.

"Masih ada cara lain."

Isamu menatap Saddam dengan kesungguhan. "Saddam, bisa Lo jelaskan sama kita seperti apa ciri-ciri Daniel? Dan apa yang Lo ketahui tentang Daniel?"

Saddam menatap datar Ketua OSIS itu, lalu beralih pada Daniel.

"Kulitnya putih pucat, sangat pucat hingga kulit gue yang udah seputih pucat ini akan kelihatan lebih gelap kalau dibandingin sama kulit Daniel. Rambutnya pirang kecoklatan, dengan mata coklat yang sayu. Dia memakai kemeja putih lusuh panjang lengan dengan celana hitam selutut. Dia keturunan Belanda Jepang, dan gue berpikir ... mungkin dia juga punya darah pribumi. Dan juga, Daniel pernah bersekolah di sini."

Isamu mengangguk setelah Saddam berbicara, sepertinya ia menganalisis siapa Daniel dari ciri-ciri yang disebutkan.

"Saddam, kalau memang benar Daniel Ogawa pernah bersekolah di sini, pasti ada data tentangnya. Dan dari ciri-ciri pakaian yang Lo sebutkan tadi, kemungkinan besar Daniel Ogawa adalah angkatan pertama Lingga Baganti. Sekitar tahun seribu delapan ratus enam puluh tujuh ke atas," jelas Isamu.

Penjelasan itu membuat Cathan terkesiap, sebagai Sekretaris OSIS, ia juga mengetahui tentang sejarah panjang Lingga Baganti.

"Bukannya pada tahun itu terjadi gempa yang ngebuat bangunan Lingga Baganti hancur? Peristiwa itu memakan ratusan korban jiwa, Lingga Baganti ditutup sementara untuk beberapa tahun hingga sekolah ini dibuka kembali setelah mengalami perbaikan. Apa mungkin Daniel adalah salah satu korban gempa itu?"

Benar, Para OSIS itu berpikir mungkin ada benarnya ucapan Cathan. Bukan tak mungkin Daniel adalah salah satu korban, tapi itu semua langsung dipatahkan oleh Saddam.

"Sebenarnya mata gue ini punya cara kerja spesial, gue bisa melihat penyebab kematian arwah itu dari warna aura yang mereka keluarkan ketika pertama kali bertemu. Ketika gue bertemu dengan arwah korban kecelakaan atau pembunuhan, mereka biasanya adalah jiwa penasaran dengan warna merah saat pertama kali gue lihat.

Tapi Daniel, dia kebingungan, warnanya putih dilapisi cahaya hitam yang ngebuat gue bingung. Gue baru pertama kali ngeliat warna kayak gitu, dan bisa gue pastikan kalau Daniel bukan korban gempa itu."

"Kenapa Lo bisa sangat yakin kalau Daniel bukan korban gempa? Kalau Lo Indigo, berarti Lo bisa ngeliat arwah murid korban gempa yang lain 'kan?" Kaivan berujar.

Daniel mengangkat sebelah alisnya. "Kalian pernah dengar tentang ritual pembersihan arwah?"

Ucapan Saddam membuat mereka semua terdiam.

Pemuda berkacamata itu menarik sudut bibirnya tipis. "Sekolah ini bukan sekolah bersih, karena sedari awal gue menginjakkan kaki di tempat ini, gak ada satupun arwah penunggu di sini yang mengenakan seragam Lingga Baganti kecuali Daniel seorang."

Lingga BagantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang