Lingga Baganti- 33

587 77 1
                                    

"Saddam, Liora, jangan pernah sekali-kali membuka kamar yang dilindungi lilin merah itu. Bahkan ketika nenek sudah tiada, jangan pernah berdekatan barang satu langkah pun dari pintu itu.

Sesungguhnya kalian tidak akan sanggup melihat apa yang tersembunyi di sana, tetap biarkanlah pintu itu menjadi rahasia selamanya tanpa ada orang yang mengetahui keberadaannya." 

Ketika pintu dibuka, terlihat sebuah kamar rapih dengan ranjang yang diukir sangat indah.

Saddam menunduk, tidak berani menatap ke depan. Ia telah melanggar janjinya kepada sang nenek. Pintu yang selama ini ia jaga, tidak pernah ia melangkah selangkah pun bahkan ke depannya, sekarang ia membuka kamar yang selalu tertutup itu.

Kini, rahasia bukanlah rahasia. Hatinya sangat yakin bahwa apa yang ia cari ada di dalam sana, disembunyikan neneknya karena mungkin tidak ingin buku itu jatuh ke tangan yang salah. Apalagi Saddam kecil belum mengerti apapun, juga kakaknya yang hanya jiwa suci.

Perlahan kepalanya menengadah, lurus dari kedua maniknya, sebuah bingkai besar berlukiskan gambar dua orang pria dan wanita dengan tatapan datarnya. Sebagian dari foto itu tampak terbakar, tapi itu tak menghilangkan kesan menakutkan dari tatapan dua orang di foto itu.

Para OSIS yang melihatnya memilih untuk tidak ikut campur, mereka mundur, membiarkan Saddam mengendalikan perasaannya di dalam sana.

Saddam hanya menatap foto itu datar, mata yang sangat mirip dengan mata pria di foto itu. Meskipun maniknya bergetar, ia tak mengeluarkan suara apapun.

Untuk 17 tahun hidupnya, akhirnya ia bertemu dengan dua orang yang disebut orang tua itu. Meskipun bukan raga yang ia jumpa, tapi setidaknya cukup untuk sekarang ia tahu bagaimana punya Ayah dan Ibu.

Pandangan berbelok pada dua kendi berukiran emas di atas meja, kendi indah itu dikelilingi lilin merah dengan lambang di tengahnya sangat jelas, lambang Dinasti Kama.

Kendi yang menyimpan abu, Saddam menatapnya datar. Jemari pucatnya tidak berani menyentuh kendi itu, terlalu bergetar sekarang untuk menyentuh kedua orang tuanya. Mungkin nanti setelah semuanya berakhir, ia akan kembali dan menyempatkan waktu untuk menyapa orang tuanya.

Saddam melarikan pandangannya ke atas, di mana sebuah buku dengan ukiran sulur dilindungi lilin merah di sana tampak bersinar di tengah gelapnya cahaya.

Saddam menarik senyum kecilnya. Bukan neneknya, tapi orang tuanya lah yang menyimpan ini untuk dirinya. Tangannya bersatu, memberi hormat kepada kedua kendi itu.

"Maaf terlambat bertemu. Kalian hanya perlu tahu bahwa aku telah besar dan bisa memutuskan kemana arah layarku," ujarnya sebelum pada akhirnya mengambil buku di atasnya.

Ketika buku itu dibuka, tertulis jelas huruf asing yang anehnya bisa ia baca. Itu adalah tulisan Kama, tampaknya peristiwa sekarang ini telah diramalkan bahkan sebelum Lingga Baganti berdiri.

Seisi Kama baru saja merayakan kelahiran putra mahkota, laki-laki yang akan mengembalikan kembali tatanan alam ke tempatnya suatu saat nanti. Tapi ramalan dari Iware membuat kami saling menguatkan di sini.

Kami mengirimkan Iware bersamamu agar kau selamat, tapi Iware adalah penyihir baik yang licik yang pasti punya caranya sendiri untuk mengajarimu.

Anakku, ketika kamu membaca ini, aku percaya telah ribuan tahun berlalu dan Kama bahkan telah hilang dari peradaban. Tiga kelahiran telah kamu lewati, dua kematian dan dua reinkarnasi yang melelahkan.

Selamat datang kembali anakku, siapapun kamu sekarang. Bagaimanapun keadaanmu sekarang, tapi aku yakin wajahmu masih sangat mirip dengan suamiku, ayahmu.

Lingga BagantiWhere stories live. Discover now