Radesna-33

29 2 0
                                    

"Aggh." Pungki bersendawa dengan kerasnya. Membuat dua temannya yang berdiri di samping kanan kirinya sontak menoleh menatapnya.

"Jorok anjir," gerutu Bowo memasang wajah jijiknya.

"Kekenyangan gue."

"Gimana nggak? Orang tahlilan yang ditungguin makanannya ya gitu tuh," ucap Raden ikut menimpali.

"Orang makan cuma dikit doang," elak Pungki beralasan.

"Dikitnya lo itu tuh sepiring penuh. Mana ngambil lauknya banyak banget, udah gitu masih nambah lagi." Raden menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

"Ya kan emang tuh makanan dikeluarin suruh dimakan sama jamaah yang hadir. Dan poin pentingnya, gue nggak munafik kayak lo lo  pada, di mulut bilangnya udah kenyang padahal dalam hati masih ngiler pengen makan lagi. Huh dasar lo pada malu-malu babi."

"Eh bener anjir, gue aja sampe nyesel karena ambil rendangnya cuma sesendok doang. Rasa bumbunya itu lho yang bikin nagih," sambar Bowo membayangkan daging sapi rendang yang tadi dimakannya.

"Nah ngaku juga kan lo? Makanya daripada cuma bisa nelen ludah doang, mending makan banyak sekalian."

Mereka bertiga tengah berjalan pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menghadiri acara tahlil di salah satu rumah warga setempat. Tidak hanya mereka, dari depan maupun belakang tampak banyak kaum adam dari berbagai generasi berjalan bergerombol sambil menenteng plastik hitam berisi berkat makanan. Berseragam memakai kemeja koko dengan bawahan sarung, tak lupa kopiah hitam yang menutup kepalanya.  Suara senda gurau terdengar ramai menyelimuti setiap langkah kaki mereka. Cahaya rembulan menjadi satu-satunya penerang di jalan yang terlihat lumayan sempit tersebut.

"Tumben si Hanif nggak berangkat? Biasanya dia cepet kalo urusan ginian," celetuk Bowo setelah beberapa menit hanya diam mendengarkan obrolan Bapak-bapak didepannya yang membicarakan tentang pemilihan calon presiden tahun 2024 mendatang.

"Kan Bapaknya datang, ya kali anaknya ikut dateng juga. Jadi double dong berkatnya. Rugi ntar yang buat acara," timpal Pungki sedikit ngegas.

"Kalo ngomong rugi itu salah. Justru yang ngasih  bakalan dapat pahala," ralat Raden yang refleks dibalas sikutan oleh Bowo. "Ngomong lo udah kayak orang bener aja."

"Nggak kayak lo ya bego?"

"Anjing lo Den," umpatnya yang menarik perhatian beberapa pria paruh baya yang melangkah tidak jauh di depan mereka. Bahkan ada salah satu yang terang-terangan menatap mereka dengan pandangan menusuk tajam.

"Ngomongnya mbok ya dijaga Mas Mas. Nggak baik kedengaran sama orang banyak," ucap seorang pria paruh baya berperawakan tinggi tegap dengan sorban yang terlampir di pundaknya.

"Anak zaman sekarang emang pada gitu. Mulutnya asal jeplak nggak disaring dulu. Beda sama jamannya kita pada," balas salah satu temannya.

"Bahasanya anak milenial ya gini Pak. Anak SD aja ngomongnya gitu Pak, bahkan ada yang lebih parah dari kita."

"Move on dong Pak. Jangan bawa-bawa masa lalu terus."

Itu suara Bowo dan Pungki, memang kurang ajar dua anak itu. Bisa-bisanya berkata seperti itu dengan sangat entengnya.

"Dasar kalian ini," cibir pria bersorban itu memukul lumayan keras lengan Bowo yang kebetulan berdiri di sampingnya. Sementara yang lain hanya terkekeh kecil seolah hal tersebut sebuah hiburan.

Setelahnya mereka malah keasikan ngobrol, apalagi Bowo yang pada dasarnya banyak bicara. Cowok itu selalu ikut nimbrung ke dalam pembicaraan empat pria paruh baya yang menceritakan berbagi topik pembicaraan, mulai dari permasalahan rumah tangga, hasil panen padi yang menurun karena serangan serangga, membahas jadwal tahlil bergilir Jum'at depan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 30, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RADESNA [On Going]Where stories live. Discover now