Radesna-17

28 6 2
                                    

Setelah berganti pakaian Resna mengusap rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Matanya melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.

Gadis dengan hoodie berwarna abu-abu itu mendekat ke jendela yang terbuka. Pemandangan ibu-ibu yang bergerombol di depan teras rumah menjadi objek pertama yang ia lihat. Apalagi yang mereka lakukan jika tidak bergosip ria. Suaranya bahkan terdengar sampai ke dalam kamarnya.

Resna memilih menutup jendelanya sebelum mendudukkan bokongnya di depan meja belajarnya. Mendengarkan musik dari hp sambil merampungkan membaca novelnya yang baru ia beli kemarin bersama Hanif. Ternyata sepupunya itu juga memiliki hobi yang sama dengannya. Koleksi bukunya bahkan lebih banyak Hanif dibanding dirinya.

Selain membaca Resna juga seorang penulis. Bukan novelis terkenal yang menyabet banyak penghargaan hanya penulis absurd yang beruntung karyanya terjual di paltform berbayar. Mungkin hampir tiga tahun sejak ia kelas sembilan SMP. Berawal dari iseng malah keterusan hingga sekarang.

Dari hasil inilah Resna bisa memenuhi hasratnya untuk membeli berbagai kebutuhan yang ia inginkan. Bukannya uang transferan dari ibunya tidak cukup, sangat cukup malah untuk dirinya sebulan. Ia hanya ingin belajar mandiri saja. Dan yang terpenting ada perasaan bangga saat ia membeli sesuatu dengan hasil jerih payahnya sendiri.

Sementara ditempat lain namun diwaktu yang bersamaan Raden mengendari motor maticnya dengan kecepatan sedang sambil menikmati angin sore. Cowok itu baru pulang dari sekolahnya. 

Di tengah perjalanan, Raden berpapasan dengan Pungki yang sedang memakai sepatu bolanya di pinggir lapangan.

"Den baru pulang?" Sapa Pungki setengah berteriak.

"Yoi." Balas Raden sambil melempar senyum tipisnya.

Hampir setiap hari pemuda di sekitar tempat tinggalnya mengisi waktu sore dengan bermain sepak bola ataupun voli. Tidak hanya remaja tanggung, orangtua pun ada yang ikut berpartisipasi. Sementara anak kecil biasanya kumpul di tepi lapangan sebagai suporter. Tidak heran kalau tempat ini menjadi incaran banyak penjual jajanan keliling.

Raden yang tidak berniat mampir, ia urungkan ketika melihat Nina duduk bersama bocil sd lainnya.

"Nina." Panggil Raden setelah menghentikan motornya di tepi trotoar.

Yang dipanggil hanya menengokkan kepalanya, tidak berniat membalas panggilan Kakaknya.

"Udah sore balik! Main mulu." Teriak Raden lagi.

Kali ini Nina beranjak dari tempatnya setelah berpamitan dengan temannya. Mengusap celananya dari debu lapangan sebelum melangkah menghampiri Raden.

"Kenapa Mas? Nina lagi asik nonton tahu." Jengkel Nina.

"Kenapa kenapa? Pulang udah sore juga. Dicariin Mama ntar."

"Tapi sebelum pulang Nina mau itu." Nina menunjuk sesuatu dengan dagunya.

Raden mengikuti arah pandang Nina yang tertuju pada gerobak penjual bakso. Firasat Raden seketika tidak enak.

"Ya udah sana beli Mas tungguin sini." suruh nya pura-pura tidak mengerti kemauan Nina.

"Maksudnya beli pake uang Mas Raden." Bisik Nina mendekatkan tubuhnya pada Raden. Tuh kan tebakannya benar.

"Nggak ada." Balas Raden pelan.

Nina memasang wajah semelas mungkin berharap Kakaknya luluh, "Mas?"

Raden bimbang. Antara menuruti kemauan adiknya atau uang tabungannya untuk membeli kuota berkurang. Pilihan yang sulit. Karena saat ini bau sedap kuah bakso menyapa indra penciumannya. Ditambah membayangkan memakan semangkuk bakso anget pedas di sore hari berhasil membuatnya meneguk ludah. Benar-benar ujian bagi Raden.

RADESNA [On Going]Where stories live. Discover now