Radesna-05

57 22 17
                                    

"Ahss bego bego banget gue." Teriakan frustasi Pungki membuat temannya menatap bingung pada laki-laki berambut ikal itu.

"Kenapa sih lo?" Tanya Hanif heran.

"Gue lupa paketin pulsa gue anjir. Hilang udah lima puluh ribu gue." Ditempatnya Pungki menggerakkan kakinya layaknya anak kecil yang sedang tantrum.

Seperti hari biasanya, sepulang sekolah mereka pasti ngumpul di rumah Hanif. Selain karena rumah Hanif free wifi, biasanya mereka juga pulang dengan perut kenyang karena kebanyakan makan. Salahkan Ibu Hanif saja karena selalu mengasih mereka makanan enak.

"Tinggal beli lagi apa susahnya sih? Duit lo kan banyak." Sahut Bowo namun matanya fokus dengan game online di hpnya.

"Enak bener tuh mulut ngomong." Sungut Pungki.

"Ya emang bener, orang tinggal nadahin tangan sama orangtua." Balas Bowo dengan santainya.

"Berapa sih sini gue ganti?" Pongah Bowo. Meletakkan hpnya di atas lantai
lalu merogoh sakunya.

"Wuiss sultan nih bos." Ledek Hanif dan Raden kompak.

"Nih pake." Bowo memberikan selembar uang bernominal seratus pada Pungki.

"Nggak" Tolak Pungki mentah-mentah.

"Dih beneran." Bowo menjejalkan uang tersebut ditangan temannya yang terus saja berusaha ditepis oleh Pungki.

"Pake aja ntar kalo udah ada diganti?"

"Nggak usah. Mau lo kasih juga kagak mau gue."

"Beneran? Ya udah gue masukin lagi." Bowo kembali menyakui uangnya.

"Buat gue aja sini." Hanif mengedengkan telapak tangannya.

"Lo mau?" Tanya Bowo yang langsung diangguki mantap oleh Hanif.

Bowo merogoh kembali sakunya dan meletakkannya di atas telapak Hanif yang masih terbuka. "Nihh."

Hanif yang sudah kepalang senang seketika langsung menganga karena tidak ada apapun ditangannya.

"Sialan lo ngibulin gue." Hanif meninju pelan bahu Bowo. Bowo terkekeh, begitupun dengan Raden dan Pungki.

Perhatian keempatnya seketika teralihkan ketika melihat Resna turun dari motor yang dibawa oleh seorang laki-laki berjaket. Setelah berpamitan masuk gadis itu melangkah ke pelataran rumah. Langkanya sontak berhenti ketika menyadari Hanif dan temannya sedang duduk di teras memandanginya.

"Pulang bareng siapa Res?" Itu suara Hanif.

Resna melangkah pelan, begitu posisi berdirinya lumayan dekat dengan Hanif ia berkata, "Temen."

Setelahnya gadis itu melangkah masuk ke dalam rumah. Ia tidak nyaman jika terus berada di dekat dengan teman sepupunya itu. Apalagi cowok yang bernama Raden itu, pandangan matanya seolah ingin mengulitinya dalam-dalam.

"Lo cemburu Den?" Bisik Bowo.

Raden melirik sekilas pada temannya seraya berkata, "Apaan sih?"

"Fix lo cembokur." Goda Bowo lalu terkekeh.

"Lo kenal tuh cowok Han?" Sepertinya Raden harus berterimakasih pada Pungki karena telah mewakilkan pertanyaan yang sedari tadi mencokol dibenaknya.

"Nggak."

"Bukannya tuh cowok yang tadi nyamperin Resna ke kelas kan?"

"Kapan kok gue nggak liat?" Tanya Raden dengan wajah cemburunya yang kentara.

****

Setelah menaruh tasnya di meja belajar, Resna membanting tubuhnya di atas ranjang dengan kedua kakinya yang menjuntai ke bawah karena belum melepas sepatu. Satu tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut, selain pusing karena belum makan siang ia Resna juga dipusingkan dengan tempat tinggalnya sekarang yang membuatnya seolah tidak bisa bergerak bebas. Resna benar-benar tidak nyaman ia ingin sekali pindah ke rumahnya yang dulu. Andai saja Kakeknya masih ada, pasti ia masih tinggal di sana. Tiga bulan yang lalu, Kakeknya menghembuskan nafas terakhirnya karena penyakit ginjal yang sudah dua tahun menggerogotinya.

RADESNA [On Going]Where stories live. Discover now